Pekanbaru โ Ironi organisasi advokat di Indonesia kembali mencuat. Tanpa adanya satu induk organisasi yang tegas menjadi patokan penindakan maupun pengawasan, banyaknya wadah advokat justru menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. (20/08)
Fenomena itu tergambar jelas pada kasus yang menyeret advokat Syahrul SH, MH. Seorang klien melaporkan dugaan penelantaran sekaligus indikasi penipuan yang dilakukan oleh Syahrul. Menindaklanjuti laporan itu, Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) menggelar sidang etik internal dan menjatuhkan putusan pemberhentian tidak hormat terhadap yang bersangkutan.
Berita hasil sidang tersebut pertama kali diterbitkan Mataxpost dalam bentuk produk jurnalistik, lalu dibagikan ke berbagai platform media sosial seperti Instagram, Facebook, hingga TikTok. Konten di TikTok bahkan viral dengan 70 ribu penayangan, 600 suka, dan lebih dari 500 komentar.
Yang menarik, di kolom komentar muncul sejumlah akun yang mengaku sebagai korban advokat Syahrul. Mereka menyampaikan pengalaman serupa, menguatkan laporan yang telah diproses APSI.
Namun, viralnya berita ini berujung pada langkah hukum balik dari Syahrul. Ia melaporkan Redaksi Mataxpost ke Polda Riau dengan tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah.
Dalam komunikasi WhatsApp dengan redaksi, saat diminta klarifikasi berita Syahrul membantah keras dirinya bukan bagian dari APSI.
โIni OA saya bang, saya bukan di APSI. Abang salah tu. Dan apa yang abang beritakan itu tidak sesuai fakta dan kenyataannya bang,โ tulis Syahrul pada Senin (19/8) malam.

Ia bahkan menegaskan dirinya tercatat aktif di organisasi lain, yakni Persadi, dan bukan di APSI.

Namun, bantahan itu berubah setelah redaksi menunjukkan Kartu Tanda Anggota (KTA) APSI atas nama dirinya.
โDulu iya. Tapi 25 (angka yg tak ada penjelasan) kesini tidak lagi. KTA saya sudah saya serahkan secara resmi dan saya bukan OA APSI lagi,โ dalihnya kemudian.
Kontradiksi ini memperlihatkan fakta berbeda dari klaim awal Syahrul yang membantah total. Publik pun bertanya: bila ia sudah mundur sejak lama, mengapa APSI masih menjatuhkan sidang etik dan keputusan pemberhentian?
โBantahan yang ia ucapkan akhirnya berbalik menjadi pengakuan atas kebohongannya sendiri.โ
Selanjutnya,ย advokat Syahrul menuding Mataxpost melanggar kaidah jurnalistik karena tidak melakukan konfirmasi sebelum berita ditayangkan. Ia juga mempermasalahkan penayangan nama lengkap dan foto dirinya di TikTok, yang menurutnya bukan produk jurnalistik.
โKalau hak klarifikasi setelah abang konfirmasi kepada saya dahulu baru naikkan berita. Sekarang faktanya, setelah abang naikkan baru bilang ada hak jawab. Itu tidak sesuai UU Pers. TikTok bukan produk jurnalistik, dan abang wajib konfirmasi sebelum menampilkan nama lengkap dan foto saya,โ tulis Syahrul lagi.
Redaksi Mataxpost menegaskan bahwa pemberitaan yang disajikan telah sesuai dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, subjek berita berhak menyampaikan hak jawab, hak koreksi, dan hak klarifikasi yang wajib dimuat media dan Redaksi mataxpost membuka hak jawab seluas nya dengan menyertakan bukti serta dokumen yang bisa membantahkan berita tersebut.
Kini, perkara ini berlanjut di jalur hukum setelah laporan resmi Syahrul ke Polda Riau. Sementara itu, keberadaan putusan APSI yang menjatuhkan pemberhentian tidak hormat terhadap Syahrul tetap menjadi fakta organisasi.
Pertanyaan publik semakin tajam: apakah benar Syahrul telah mundur sebelum sidang etik APSI digelar, atau justru putusan APSI sah secara prosedural?
Seorang pengacara yang enggan disebutkan namanya kepada Mataxpost menegaskan, kasus Syahrul adalah contoh nyata lemahnya tata kelola profesi advokat di Indonesia.
โWalaupun di APSI dia dipecat, tapi di Perandi dia bisa tetap berstatus advokat. Inilah letak lemahnya penindakan hukum terhadap advokat yang terindikasi menelantarkan klien, atau bahkan diduga melakukan penipuan terhadap masyarakat yang sedang mencari keadilan,โ ujarnya.
Selain itu, publik juga perlu memahami bagaimana seseorang resmi menjadi advokat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, calon advokat wajib mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan organisasi advokat, lulus Ujian Profesi Advokat (UPA), lalu menjalani magang minimal dua tahun di kantor advokat. Setelah itu, calon advokat baru bisa disumpah di Pengadilan Tinggi sesuai domisili hukumnya.
Dengan demikian, advokat tidak bisa berdiri sendiri atau hanya bermodal ijazah sarjana hukum dari kampus. Jalur resmi melalui organisasi advokat dan sumpah di pengadilan adalah syarat mutlak. Fakta lain yang tak terbantahkan, Syahrul sendiri diketahui pernah diambil sumpah advokat di bawah naungan APSI organisasi yang, ia bantah sebagai tempatnya bernaung.
Namun, karena banyaknya organisasi advokat, celah pengawasan muncul: seseorang yang dipecat dari satu organisasi masih bisa berlindung di organisasi lain, sebagaimana terlihat dalam kasus Syahrul
Tidak ada komentar