Pekanbaru โ Laporan advokat Syahrul ke Polda Riau atas tuduhan fitnah terhadap akun TikTok @mataxpost.com kembali menarik perhatian publik. Laporan ini, yang dilayangkan pada bulan Agustus 2025, dengan dasar dugaan pelanggaran Undang-Undang ITE, kini menuai kritik. Beberapa pihak menilai langkah hukum Syahrul tidak hanya sebagai upaya melindungi nama baik, namun lebih kepada pembungkaman kebebasan pers yang seharusnya dilindungi konstitusi. (19/08)
Syahrul menanggapi pemberitaan yang memuat klaim dipecat secara tidak hormat dari Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Dalam laporannya, ia menegaskan bahwa statusnya sebagai advokat masih sah, terutama dalam keanggotaan Persadi (Pergerakan Seluruh Advokat Indonesia). Namun, klaim ini justru menambah ketidakjelasan soal status profesinya, mengingat ia diduga memiliki empat kartu tanda advokat (KTA) dari organisasi berbeda, yang bertentangan dengan etika profesi.

Sumber internal menyebutkan, APSI telah mengeluarkan putusan pemberhentian Syahrul terkait pelanggaran kode etik, yang antara lain mencakup tidak jujur terhadap klien dan mengambil keuntungan pribadi dengan biaya tidak sah. Dugaan ini semakin menguatkan ketidakpastian mengenai posisi Syahrul dalam dunia advokat. Laporan polisi yang diajukan Syahrul ke Polda Riau kini dipandang sebagai langkah untuk menutupi fakta-fakta yang sudah terungkap.
Para pengamat hukum menilai laporan tersebut berisiko membatasi kebebasan pers dan hak publik untuk mengetahui kebenaran. Laporan polisi, menurut mereka, bisa disalahgunakan untuk menghalangi media dalam melakukan tugas jurnalistik yang independen.
โJika laporan ini digunakan untuk menekan kebebasan pers, kita bisa bicara soal ancaman terhadap demokrasi itu sendiri,โ kata salah satu pengamat hukum dari Universitas Indonesia.
Pemberitaan sebelumnya mengenai pemberhentian Syahrul secara tidak hormat mencatat bahwa proses persidangan dalam APSI sudah dilaksanakan dan putusan telah dibacakan. Meskipun demikian, hingga kini Syahrul belum memberikan klarifikasi resmi mengenai status keanggotaannya di APSI. Keengganan untuk mengakui keputusan APSI semakin memperburuk posisi hukum dan kredibilitas Syahrul di mata publik.
Kini, publik menunggu apakah Syahrul akan mengungkapkan secara terbuka bahwa dirinya memang terdaftar dan pernah disumpah di bawah naungan APSI. Jika ia terus menutupi fakta ini, tuduhan pengingkaran sumpah profesi semakin sulit untuk dibantah, dan ia bisa dianggap melanggar kode etik advokat yang telah diatur dalam Undang-Undang Advokat.
Sementara itu, kasus ini tidak hanya melibatkan Syahrul secara pribadi, tetapi juga memberikan gambaran penting tentang tantangan integritas dan transparansi dalam dunia hukum di Indonesia. Sebagai profesi yang diharapkan menjadi pilar keadilan, advokat harus menjaga kehormatan dan kepercayaan publik, dan kejadian ini mengingatkan kita tentang betapa pentingnya menjaga kode etik dalam setiap aspek profesi ini.
Tidak ada komentar