Mataxpost | Siak- Publik kembali gaduh. Bupati Afni Zulkifli resmi melantik Mahadar sebagai Sekretaris Daerah. Nama yang beberapa waktu lalu dipanggil Kejari Siak untuk dimintai keterangan dalam penyelidikan pengadaan telur asin di Dinas Pendidikan, kini justru naik ke kursi tertinggi birokrasi. Sebuah keputusan yang bikin rakyat bertanya-tanya: apakah Afni benar-benar lupa catatan masa lalu, atau memilih untuk tidak peduli? (27/09)
Kasus telur asin bermula dari program Dinas Pendidikan Siak tahun 2022, ketika Mahadar masih menjabat kepala dinas dimna Mahadar sebelumnya diangkat menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Siak melalui SK Bupati Nomor 100.3.3.2/798/HK/KPTS/2022 tanggal 10 Oktober 2022, dan diberhentikan melalui SK Nomor 100.3.3.2/374/HK/KPTS/2024 tanggal 20 Maret 2024 saat dimutasi ke posisi baru.
Program yang diklaim sebagai inovasi ketahanan pangan berbasis sekolah itu justru berujung masalah. Kejari Siak menemukan indikasi pengadaan fiktif dan dugaan markup.
Beberapa sekolah penerima bantuan bahkan mengaku tidak pernah menerima telur asin sesuai jumlah dalam laporan. Dari situ Mahadar dipanggil untuk dimintai klarifikasi. Meski statusnya belum tersangka, namanya jelas terseret dalam penyelidikan.
Anehnya, Kejaksaan negeri Siak berikan klarifikasi di sejumlah media bahwa mahadar tidak ikut mencairkan anggaran program telur asin. Justru sebutkan nama lainnya sebagai PA/KPA .Klarifikasi itu terdengar klise. Semua orang tahu pencairan teknis memang dilakukan bendahara dan PPK. Tapi publik juga tahu satu hal: tanpa tanda tangan Kepala Dinas sebagai PA/KPA, anggaran Rp4,4 miliar itu mustahil bisa cair.
Dalam struktur birokrasi, Mahadar adalah Pengguna Anggaran sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran. Setiap rupiah keluar dari kas daerah melewati otorisasi PA/KPA. Surat Perintah Membayar (SPM) tak akan pernah terbit tanpa tanda tangan pejabat utama.
Yang menjadi ironi, Kejaksaan negeri Siak memberikan pernyataan yang dinilai tidak sesuai kenyataan yang sebenarnya.
Jadi jika program bermasalah, tanggung jawab tetap melekat pada pucuk pimpinan. Tidak bisa dilepaskan hanya dengan kalimat singkat, “MAHADAR tidak ikut mencairkan.”
Logikanya sederhana: anggaran masuk ke DPA Dinas Pendidikan, dokumen pembayaran disusun PPK, bendahara menjalankan, lalu PA/KPA menandatangani dan memberi legalitas.
Publik menilai klarifikasi Kejaksaan lemah, seolah hanya untuk lakukan pembenaran dalam situasi urgensi pemilihan Sekda Siak, karena menyebut nama pejabat lain tanpa disertai SK atau dokumen yang bisa membuktikan nama-nama tersebut. Sebagai PA/KPA, Mahadar bukan sekadar “mengetahui”, tetapi justru pemberi lampu hijau; tanpa persetujuannya, program tidak berjalan dan anggaran tidak dicairkan.
Kekecewaan publik semakin dalam ketika Mahadar justru dilantik jadi Sekda. Di mata warga, ini seperti memberi promosi di tengah jejak masalah. Logika hukum mengatakan, siapa pun yang tanda tangannya membuat uang miliaran rupiah cair, otomatis wajib diperiksa lebih jauh.
Balkan tak menutup kemungkinan ditetapkan sebagai tersangka bila terbukti ada kerugian negara. Karena jabatan PA/KPA bukan sekadar gelar administratif itu tanggung jawab penuh yang melekat pada setiap dokumen yang ditandatangani.
Apalagi, Badan Pemeriksa Keuangan juga pernah menorehkan catatan merah. Dalam LHP disebutkan pertanggungjawaban dana hibah PAUD/TK senilai Rp781,7 juta belum sepenuhnya lengkap, serta kelebihan bayar Rp43,5 juta yang harus dikembalikan. Fakta ini bukan isu politik, melainkan audit resmi negara. Namun catatan itu seakan tak berarti, bahkan berubah jadi tiket promosi.
Mahadar sendiri bukan nama asing. Dari guru desa, lalu kepala dinas, sempat dimutasi ke Kesbangpol, hingga akhirnya kembali ke puncak lewat seleksi terbuka. Nilainya memang tertinggi di atas kertas.
Tetapi di balik angka itu masih ada tinta merah BPK dan jejak kasus telur asin yang belum kering. Kini, dengan jas resmi dan sumpah jabatan, Mahadar duduk sebagai orang nomor tiga di Siak.
Pertanyaannya sederhana: apa dasar Bupati Afni begitu yakin? Apakah seleksi terbuka dan nilai tes lebih penting daripada catatan lembaga audit negara? Atau ada kalkulasi politik yang membuat semuanya seakan baik-baik saja?
Masyarakat pun menyuarakan kekecewaan.
“Pemkab Siak makin mirip panggung stand up komedi. Bedanya, dagelan biasanya bikin ketawa, yang ini malah bikin sakit hati,” ujar Yanto seorang warga Perawang.
Ari Susanto, warga Mandau, menambahkan:
“Baru seumur jagung menjabat, Afni sudah suguhkan dagelan yang bikin rakyat teriris.”ujarnya
Seorang pemuda dari Tualang juga menimpali,
“Rakyat Siak butuh pemimpin yang tegas, bukan yang pura-pura lupa jejak pejabat bermasalah.”ungkapnya
Publik kini hanya bisa menunggu. Dari gedung BSP yang mangkrak, jembatan kaca yang dipertanyakan, videotron beraroma mark-up, hingga pengadaan telur asin yang masih berproses, kasus-kasus di Siak terkesan berjalan di tempat. Di tengah semua itu, seorang Sekda baru hadir dengan rekam jejak yang masih menimbulkan tanda tanya.
Ironisnya, sebagian pejabat justru menganggap pemberitaan soal dugaan korupsi hanyalah pesanan politik. Padahal, media hanya menyuarakan fakta dari audit resmi dan proses hukum sebuah alarm yang seharusnya dijadikan peringatan.
Tetapi seperti inilah tabiat banyak pemimpin di Riau: kritik dianggap ancaman, suara rakyat dipelintir jadi pencemaran nama baik. Dan pada akhirnya publik kembali dihantui satu pertanyaan klasik: akankah tahun ini Siak lagi-lagi dihadiahi aroma korupsi dari kursi Bupati?
Disclaimer:
Tulisan ini disusun berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk pernyataan resmi Kejaksaan Negeri Siak, dokumen pemerintahan yang tersedia, serta pendapat pihak terkait. Redaksi tidak bermaksud menghakimi atau menyimpulkan bersalah terhadap individu maupun institusi mana pun. Semua pihak yang disebutkan memiliki hak untuk memberikan klarifikasi, bantahan, atau tanggapan sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (11) tentang Hak Jawab.
Tidak ada komentar