x
.

Dugaan Korupsi: Pejabat PUPR Menghadap Kejati dan BPK?

waktu baca 5 menit
Sabtu, 27 Sep 2025 00:26 Editor

Pekanbaru, 24 Februari 2025 โ€“ Dugaan penyelewengan anggaran proyek swakelola di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Kepulauan Meranti semakin menjadi sorotan publik. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa Kepala Dinas PUPR Meranti, Fajar Triasmoko, serta Sekretarisnya, Aang, bertolak ke Pekanbaru untuk menghadiri urusan dengan PUPR Riau dan menghadap Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau.

Diduga kuat langkah ini diambil setelah media MataXPost bersama tim investigasi mengungkap dugaan korupsi dalam proyek-proyek swakelola yang bersumber dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan atas adanya Laporan Aliansi pemuda anti korupsi di Kejaksaan tinggi Riau.

Pada Rabu, 19 Februari 2025, BPK RI Perwakilan Riau dikabarkan telah melakukan audit keuangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti untuk Tahun 2024, Audit tersebut bertujuan menilai kepatuhan terhadap aturan keuangan negara serta mendeteksi potensi penyimpangan dalam penggunaan anggaran. Diduga, pihak PUPR Meranti juga turut menghadap BPK RI Perwakilan Riau setelah audit ini, namun hingga saat ini informasi mengenai pertemuan tersebut masih belum dapat dikonfirmasi.

Salah satu narasumber menyampaikan informasi kepada media bahwa,

“Pejabat PUPR meranti Ke pekanbaru untuk urusan ke Kantor Kementerian PU yang di Pekanbaru. Infonya sekalian menindaklanjuti terkait laporan Aliansi ke Kejati serta pergi ke kantor BPK.”

Seorang narasumber lainnya berinisial TY menyampaikan kekhawatirannya terkait pergerakan pihak PUPR Meranti ke Pekanbaru yang menimbulkan asumsi liar ditengah masyarakat,

“Kalau memang mereka ke BPK untuk urusan audit, kenapa harus buru-buru? Apa jangan-jangan mereka sedang mencari celah agar status disclaimer bisa dihilangkan?” ujarnya.

Ia juga menyoroti kunjungan ke Kejati Riau yang dinilai janggal.

“Kenapa mereka ke Kejati, sementara pihak pelapor dari Aliansi saja belum dipanggil untuk dimintai keterangan? Jangan-jangan ini ada upaya mencari perlindungan hukum atau bahkan kesepakatan tertentu yang tidak transparan,” tambahnya.

Dugaan penyimpangan tersebut mengingatkan pada kasus yang menjerat Muhammad Adil, mantan Bupati Kepulauan Meranti, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 6 April 2023. Adil diduga terlibat dalam praktik suap dan pemotongan dana di berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Meranti. Modus korupsi (GU) , (UP) yang dilakukan melibatkan setoran dari kepala dinas kepada Bupati sebagai syarat mendapatkan alokasi anggaran proyek.

Pada saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Muhammad Adil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 6 April 2023, Fajar Triasmoko termasuk 28 orang yang kena OTT, saat ia menjabat sebagai Plt.Kepala Dinas PUPR, sementara Mardiansyah telah mengundurkan diri dari posisinya sejak Oktober 2022, Fajar diangkat sebagai Plt. Kepala Dinas PUPR pada Oktober 2022, dimasa kepemimpinan Muhammad Adil.

Temuan BPK: Proyek Swakelola PUPR Meranti Diduga Menyimpang

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK-RI Nomor 17A/LHP/XVIII.PEK/05/2024 mengungkap sejumlah temuan terkait proyek swakelola di Dinas PUPR Meranti. Beberapa pelanggaran yang disorot antara lain:

1.Proyek Swakelola Dikerjakan Pihak Ketiga

Seharusnya proyek swakelola dilaksanakan langsung oleh dinas terkait tanpa melibatkan pihak ketiga, namun dalam praktiknya proyek tersebut justru dikerjakan oleh kontraktor tanpa mekanisme yang jelas.

2.Ketidaksesuaian dalam Penggunaan Anggaran: Pembayaran Secara Tunai

BPK menemukan indikasi penggunaan anggaran yang tidak sesuai peruntukan, termasuk dugaan markup harga dan ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dengan dokumen perencanaan.

3.Kekurangan Volume Pekerjaan

Audit menunjukkan banyak pekerjaan infrastruktur yang tidak sesuai dengan laporan progres di atas kertas, sehingga terdapat selisih signifikan antara realisasi fisik di lapangan dengan nilai pembayaran yang telah dicairkan.

4.Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan

Dugaan penyimpangan ini melanggar beberapa regulasi, di antaranya:

A.Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

B.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

C.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pembayaran Tunai: Modus Penyimpangan Keuangan?

BPK juga menyoroti risiko pembayaran tunai dalam pengelolaan keuangan negara, yang berpotensi menyebabkan penyimpangan seperti:

Mudah Direkayasa โ†’ Bukti transaksi sulit diverifikasi dibandingkan dengan transaksi melalui perbankan.

Sulit Diaudit Transparan โ†’ Tidak ada jejak transaksi digital yang bisa dilacak.

Potensi Penggelembungan Anggaran (Mark-up) โ†’ Harga bisa dinaikkan tanpa kontrol yang ketat.

Rawan Uang Fiktif โ†’ Bisa terjadi pembayaran kepada pihak yang sebenarnya tidak terlibat atau proyek yang tidak benar-benar dikerjakan.

Untuk diketahui oleh masyarakat

BPK tidak serta-merta menyatakan adanya kerugian negara dalam setiap pemeriksaan karena mereka memiliki standar dan metodologi audit yang ketat. Jika suatu laporan keuangan diberikan opini Disclaimer (Tidak Menyatakan Pendapat/TMP), ini berarti BPK tidak dapat memberikan keyakinan yang memadai atas laporan keuangan tersebut, bukan berarti tidak ada kerugian negara.

Mengapa BPK Tidak Langsung Menyatakan Ada Kerugian Negara?

1.Ketidakterpenuhan Bukti Audit

Jika BPK tidak memperoleh bukti audit yang cukup dan kompeten terkait penggunaan anggaran, mereka tidak bisa langsung menyimpulkan adanya kerugian negara.

Contoh: Dokumen pendukung hilang atau tidak diberikan, laporan keuangan tidak transparan, atau akses terhadap data keuangan dibatasi.

2.Keterbatasan dalam Menilai Nilai Kerugian

BPK bertugas melakukan audit dan memberi opini atas laporan keuangan, bukan menetapkan kerugian negara secara langsung.

Jika ada dugaan penyimpangan tetapi belum cukup bukti untuk menilai jumlah pastinya, maka BPK bisa memberikan opini disclaimer.

3.Indikasi Manipulasi atau Tidak Patuhnya Pemerintah Daerah

Jika Pemda atau OPD tidak patuh dalam menyerahkan laporan keuangan yang sah, BPK tidak bisa menilai apakah ada penyimpangan atau tidak.

Biasanya ini terjadi ketika ada dugaan laporan fiktif, pembayaran tunai yang tidak terdokumentasi dengan baik, atau transaksi yang tidak transparan.

4.BPK Bukan Penegak Hukum

BPK adalah sebuah lembaga auditor, hanya memeriksa dan mengaudit, bukan menindaklanjuti.

Jika ada indikasi kerugian negara yang perlu diperdalam, BPK akan menyerahkan hasil audit ke APH (KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian).

Jika terbukti adanya penyimpangan, sanksi tidak hanya administratif tetapi juga pidana berdasarkan Undang-Undang Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001). Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa pelaku bisa dipidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda maksimal Rp1 miliar.

Masyarakat diharapkan terus mengawal kasus ini agar proses hukum berjalan transparan dan tidak ada intervensi dari pihak-pihak berkepentingan.

Hingga berita ditayangkan belum ada klarifikasi resmi dari Kejaksaan tinggi Riauย  dan BPK RI Perwakilan Riau, awak media juga sudah menghubungi sekretaris PUPR Aang tapi belum mendapatkan respon, agar dipahami nomor kontak Kadis PUPR meranti sampai saat ini tidak ada pihak yang mau memberikan kepada media, berita akan diperbarui seiring informasi yang didapatkan.

Bersambung…

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x