Mataxpost | Pekanbaru β 10 September 2025, Ketua Harian SATU GARIS (Suara Aspirasi Terdepan Untuk Gerakan Anti Korupsi, Reformasi Integritas, dan Supremasi Hukum) Ricky Fatir angkat bicara terkait tudingan dan rencana Aliansi Gerakan Mahasiswa dan Masyarakat Pemantau Riau (GEMMPAR) Pekanbaru yang akan menggelar aksi unjuk rasa pada Selasa, 16 September 2025.
Aksi itu diberitakan sejumlah media lokal dengan tuntutan agar Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru menindaklanjuti kembali dugaan pelanggaran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 yang menyeret nama mantan anggota DPRD Kota Pekanbaru periode 2019β2024, Ida Yulita Susanti.
Namun langkah ormas tersebut menuai tanda tanya. Pasalnya, kasus ini sudah pernah ditangani Kejari Pekanbaru sejak 2021 dan dihentikan pada 2022 setelah para pimpinan DPRD mengembalikan kelebihan pembayaran tunjangan transportasi ke kas daerah dengan nilai lebih dari Rp1 miliar. Penghentian perkara ini juga telah diberitakan secara luas oleh sejumlah media lokal, di antaranya RiauBISA.com, Liputan6.com, RiauHits.com, dan Cakaplah.com, sehingga status hukumnya jelas dan terbuka untuk publik..
Seperti diketahui melalui pemberitaan berbagai media, Kejari Pekanbaru melalui Kepala Seksi Intelijen saat itu, Lasargi Marel, S.H., M.H. menegaskan bahwa proses penyelidikan tim intelijen rampung pada akhir 2021. Pada Januari 2022 dilakukan ekspose perkara, dan hasilnya kasus dilimpahkan ke Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) untuk audit lebih lanjut.
Langkah ini ditempuh setelah kerugian negara dikembalikan ke kas daerah dan dinilai cukup diselesaikan secara administratif.
Ketua Umum SATU GARIS, Ade Monchai melalui Ketua Harian Ricky Fathir, menilai rencana aksi tersebut sarat motif non-hukum. Menurutnya, isu yang kembali diangkat bisa saja berbau sakit hati pribadi atau bahkan ditunggangi kepentingan oknum tertentu.
βKalau kasusnya sudah empat tahun lalu dan Kejaksaan sudah menyatakan selesai dengan pengembalian, lalu kenapa diungkit lagi sekarang? Apakah ini benar-benar murni soal hukum, atau ada unsur lain karena posisi Ida saat ini?β tegas Ricky.
Sebagaimana diketahui, Ida kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Sarana Pembangunan Riau (SPR), salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) strategis di Riau. Posisi itu membuatnya berada di tengah pusaran kepentingan besar dalam pengelolaan aset daerah.
Sejumlah pengamat menilai, rencana aksi GEMMPAR lebih kental aroma politis dibandingkan murni penegakan hukum.
Pasalnya, secara administrasi pengembalian dana sudah dilakukan, dan secara hukum Kejari Pekanbaru telah menutup kasus ini sejak 2022. Kalau dilihat dari kacamata Kejaksaan, keputusan menghentikan perkara setelah ada pengembalian kerugian negara diposisikan sebagai penyelesaian administratif.
Dalam hukum, pidana dipandang sebagai jalan terakhir atau ultimum remedium. Artinya, bila uang negara yang sempat disalahgunakan sudah dikembalikan, maka kerugian dianggap tidak ada lagi dan penyelesaian cukup dilakukan melalui jalur administratif lewat Inspektorat atau APIP.
Kejaksaan juga memiliki kewenangan atau diskresi dalam menentukan apakah kasus layak dilanjutkan ke pengadilan. Bila kerugian negara telah dikembalikan sepenuhnya, perkara biasanya dialihkan ke ranah administrasi.
Cara ini dinilai lebih efisien dan tidak membuang energi, waktu, maupun biaya untuk kasus yang secara materi sudah selesai.
Selain itu, ada aturan bersama antara Kejaksaan, Kepolisian, dan APIP dalam menangani dugaan penyimpangan keuangan daerah. Jalur pidana hanya dipakai bila kerugian negara tidak dikembalikan atau ada indikasi kuat perbuatan melawan hukum.
Sebaliknya, bila uang sudah dikembalikan, APIP berwenang menjatuhkan sanksi administratif atau rekomendasi pembinaan.
Dengan demikian, dari sudut pandang Kejaksaan Negeri Pekanbaru, pengembalian lebih dari Rp1 miliar dan pelimpahan perkara ke APIP merupakan bentuk penyelesaian hukum yang sah dan efisien tanpa harus berlanjut ke meja hijau.
Ricky juga mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) menelaah lebih jauh rencana aksi tersebut. Menurutnya, bila memang terbukti bermuatan politis dan hanya dijadikan alat tekanan terhadap posisi Ida Yulita Susanti sebagai Direktur Utama BUMD, maka hal itu seharusnya menjadi perhatian aparat untuk menelusuri siapa yang berada di balik gerakan tersebut.
Tidak ada komentar