Mataxpost|Jakarta – Menteri Agama Nasaruddin Umar menjadi sorotan setelah dalam sebuah pidato resmi ia menyampaikan pernyataan, (06/09)
“Kalau niat cari uang jangan jadi guru, jadi pedagang.”ujarnya yang dikutip dari postingan youtube Direktorat PAI Kemenag
Kalimat singkat tersebut langsung memicu gelombang pro dan kontra di ruang publik, terutama di tengah realitas kesejahteraan guru di Indonesia yang masih jauh dari kata layak.
Di media sosial, sebagian besar warganet menganggap ucapan Menag sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kondisi nyata. Banyak guru, terutama tenaga honorer, masih menerima gaji sangat rendah, bahkan hanya sekitar Rp300 ribu per bulan, dengan pencairan yang kadang terlambat hingga berbulan-bulan.
Bagi mereka, tuntutan kenaikan gaji bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup dasar. Seorang netizen menulis,
“Guru minta naik gaji karena butuh hidup layak, bukan ingin jadi kaya. Kalau pemerintah bilang jangan jadi guru kalau mau cari uang, apakah itu jawaban yang pantas?”
Kritik-kritik seperti ini menggambarkan rasa kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai belum serius dalam memperjuangkan kesejahteraan tenaga pendidik.
Namun, ada pula suara yang membela Menag. Mereka menilai bahwa substansi pidato sebenarnya adalah soal meluruskan niat dan menjaga keikhlasan. Menurut kelompok ini, pesan yang ingin ditegaskan adalah bahwa guru bukan sekadar profesi mencari nafkah, melainkan panggilan jiwa dan pengabdian.
“Guru memang manusia yang juga butuh gaji, tapi jangan sampai orientasi utama menjadi guru hanya pada uang,” ujar salah seorang pendukung pandangan tersebut.
Terlepas dari perdebatan makna, fakta di lapangan menunjukkan realitas yang sulit diabaikan. Data dari berbagai organisasi pendidikan menunjukkan masih banyak guru honorer di berbagai daerah yang menerima gaji di bawah upah minimum regional (UMR).
Kondisi ini memaksa banyak guru mencari pekerjaan sampingan demi menutup kebutuhan hidup, dari berdagang kecil-kecilan hingga bekerja serabutan. Fenomena ini menimbulkan paradoks: guru yang seharusnya fokus mendidik generasi bangsa justru terbebani masalah ekonomi.
Alih-alih berfokus pada peningkatan kualitas pembelajaran, mereka harus memikirkan cara bertahan hidup. Inilah yang membuat pernyataan Menag terasa “menyakitkan” bagi sebagian pihak, karena dianggap tidak menyinggung persoalan utama yaitu kesejahteraan.
Guru sering disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Peran mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa diakui sangat vital. Tanpa guru, mustahil lahir generasi yang berilmu, berkarakter, dan siap bersaing di masa depan.
Oleh sebab itu, banyak pihak berpendapat sudah sepantasnya negara memberi perhatian serius terhadap kesejahteraan mereka. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin hak warga negara memperoleh pendidikan yang layak.
Hal itu tidak bisa tercapai tanpa tenaga pendidik yang sejahtera. Guru yang hidup dengan gaji di bawah standar akan sulit maksimal dalam menjalankan peran besarnya.
Kontroversi ucapan Menag Nasaruddin Umar akhirnya menjadi cermin dari persoalan lama yang tak kunjung terselesaikan: kesejahteraan guru.
Publik berharap pemerintah berhati-hati dalam menyampaikan pesan kepada tenaga pendidik, agar tidak menambah luka di tengah kondisi yang sulit.
Lebih jauh, masyarakat mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dalam memperbaiki sistem penggajian dan kesejahteraan guru, terutama mereka yang masih berstatus honorer.
Guru layak mendapatkan penghargaan bukan hanya dalam bentuk ucapan dan simbol, tetapi juga lewat kebijakan nyata yang menjamin kehidupan mereka.
Pernyataan Menag boleh jadi dimaksudkan sebagai motivasi spiritual tentang keikhlasan. Namun, di tengah realitas gaji guru yang rendah, kalimat itu berubah menjadi pemantik kekecewaan publik.
Perdebatan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa bicara soal guru tidak bisa hanya dengan retorika moral, melainkan harus diiringi solusi nyata bagi kesejahteraan mereka.
Tidak ada komentar