x
.

Minangkabau dan Politik Identitas Melayu: Antara Akar Sejarah dan Rekayasa Penguasa

waktu baca 5 menit
Senin, 22 Sep 2025 03:55 Editor

Mataxpost | Pekanbaru – Sejarah dan identitas budaya sering kali menjadi arena tarik-menarik politik. Di Riau, polemik mengenai upaya “Melayunisasi” kembali mencuat, terutama setelah istilah Minangkabau diganti dengan sebutan “Melayu Daratan” atau “Melayu Pedalaman” dan “Melayu Kepulauan”. (22/09)

Kebijakan ini memunculkan kekhawatiran bahwa generasi muda di daerah peralihan seperti Kuantan Singingi, Kampar Hulu, dan Rokan Hulu akan kehilangan akar sejarah mereka. Bagi sebagian pihak, langkah tersebut tidak ubahnya seperti klaim budaya yang pernah dilakukan Malaysia terhadap batik, kuda lumping, atau warisan Nusantara lainnya sebuah konstruksi identitas baru yang jauh dari kenyataan sejarah.

Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah Minangkabau merupakan bagian dari Melayu, atau justru Melayu lahir dari Minangkabau? Sejak lama, Minangkabau dikenal sebagai salah satu kelompok etnis terbesar di Nusantara dengan pengaruh luas.

Tradisi merantau orang Minang telah menyebarkan budaya mereka ke berbagai wilayah, dari Jambi, Bengkulu, Riau, hingga Negeri Sembilan di Malaysia. Mobilitas ini membuat Minangkabau kerap disebut sebagai “Melayu Tua”, akar dari banyak tradisi yang kini disebut budaya Melayu.

Kesamaan antara Minangkabau dan Melayu memang ada, tetapi perbedaan mencolok tidak bisa diabaikan. Minangkabau memiliki sistem kekerabatan matrilineal yang unik, berbeda dengan patrilineal yang lazim dalam masyarakat Melayu.

Bahasa Minang dan Melayu serumpun, tetapi Minang memiliki ciri khas dalam pelafalan, misalnya kata “biasa” menjadi “biaso”. Seni musik seperti saluang dan talempong, serta kesenian randai, jelas berakar dari Minangkabau. Demikian pula rumah gadang dengan atap gonjong yang khas, yang tidak ditemukan dalam arsitektur tradisional Melayu.

Seiring waktu, faktor administrasi dan politik membuat wilayah yang secara budaya Minang masuk ke dalam provinsi lain yang mengusung identitas Melayu. Masyarakat Kerinci di Jambi, misalnya, banyak memiliki tradisi Minang tetapi dikategorikan sebagai Melayu.

Hal serupa terjadi di Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi di Riau, serta sebagian Mandailing di Sumatera Utara. Batas administratif inilah yang kemudian melahirkan kategori baru, sehingga identitas Minang di wilayah-wilayah itu perlahan disamakan dengan Melayu, meski akarnya berbeda.

Fenomena ini merupakan bagian dari politik identitas: upaya menyatukan wilayah dengan satu label budaya demi legitimasi dan dominasi. Pada daerah inti, politik identitas bisa berfungsi sebagai perekat persatuan. Namun, di daerah perbatasan atau peralihan, ia sering menjadi pengabur sejarah. Identitas baru dipaksakan atas nama kekuasaan, sementara jejak budaya asli perlahan terhapus dari ingatan kolektif.

Meski demikian, hubungan Minangkabau dan Melayu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan semata. Buya Hamka, ulama besar asal Minangkabau, pernah menegaskan bahwa “Minangkabau itu Melayu, dan Melayu itu Minangkabau.

Tidak ada pemisahan, karena budaya, bahasa, dan sejarah kita menyatu dalam keislaman dan kemelayuan.” Pernyataan ini menunjukkan kedekatan keduanya, meski jelas Minangkabau memiliki jejak sejarah yang lebih tua dan sistem budaya yang lebih kompleks.

Persoalan yang mengemuka di Riau hari ini sesungguhnya bukan sekadar soal apakah Minangkabau itu Melayu atau bukan, melainkan bagaimana sejarah dikisahkan dan identitas dibingkai. Upaya mengganti nama Minangkabau dengan istilah Melayu Daratan merupakan bentuk rekayasa memori kolektif.

Generasi muda yang dibesarkan dengan narasi baru akan menganggap konstruksi itu sebagai kebenaran. Akibatnya, akar budaya yang sebenarnya menjadi kabur, dan warisan sejarah pun berisiko hilang.

Sejarah Minangkabau sendiri tercatat dalam Tambo Minangkabau, karya tradisional yang awalnya diwariskan secara lisan, kemudian ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab-Melayu (Jawi), dan baru menggunakan huruf Latin pada abad ke-20.

Tambo terdiri dari dua jenis: Tambo Alam yang mengisahkan asal-usul nenek moyang, kerajaan, dan wilayah; serta Tambo Adat yang mengatur hukum, adat, dan norma sosial masyarakat.

Dari sisi arkeologi, sosok penting adalah Adityawarman, penguasa abad ke-14 yang dianggap raja Malayapura dengan pusat kekuasaan di Tanah Datar, Sumatra Barat. Prasasti-prasasti Adityawarman, seperti Prasasti Kuburajo, memperlihatkan adanya organisasi pemerintahan, penggunaan aksara, dan integrasi budaya antara Melayu Kuno, Hindu-Buddha, serta Islam.

Kajian linguistik juga menambah sudut pandang. Penelitian Universitas Andalas (2019) mengenai kekerabatan Bahasa Melayu Patani dengan Bahasa Minangkabau menemukan bahwa 65% dari 200 kata dasar Swadesh menunjukkan kedekatan. Ini membuktikan hubungan serumpun, meski identitas budaya tetap berbeda.

Sumber kolonial turut memberikan catatan berharga. Thomas Stamford Raffles, pada 1818, melakukan ekspedisi ke dataran tinggi Minangkabau dan mencatat sistem sosial, teknologi, serta pertanian yang maju, termasuk pengolahan besi dan penggunaan kincir air. Catatan ini menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau bukanlah komunitas sederhana atau subordinat, melainkan memiliki organisasi sosial dan budaya yang kompleks.

Namun, semua sumber ini juga perlu dikritisi. Tambo Minangkabau sarat mitologi dan legenda yang sulit diverifikasi, sehingga kebenaran faktualnya hanya sebagian kecil. Demikian pula prasasti Adityawarman sering diinterpretasi beragam, dan bukti linguistik pun tidak otomatis bisa dijadikan dasar klaim identitas budaya.

Dengan demikian, analisis sejarah harus dilakukan hati-hati, menggabungkan tradisi lisan, bukti material, linguistik, dan kesadaran kolektif masyarakat.

Kesimpulannya, Minangkabau memiliki akar budaya dan sejarah yang kuat, jauh lebih tua dibanding konstruksi identitas “Melayu” modern. Hubungan antara keduanya memang erat, tetapi tidak identik. Minangkabau dengan sistem matrilinealnya, rumah gadang, tambo, dan seni tradisi adalah entitas khas yang tidak bisa begitu saja direduksi menjadi “Melayu Daratan”.

Upaya politik identitas yang menghapus nama Minangkabau demi kepentingan kekuasaan bukan hanya keliru secara akademis, tetapi juga berpotensi mengkhianati warisan leluhur yang membentuk wajah budaya Nusantara.


Daftar Pustaka

  • Navis, A.A. (1984). Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Raffles, T.S. (1818). The History of Java. London: Black, Parbury & Allen.
  • Universitas Andalas. (2019). Hubungan Kekerabatan Bahasa Melayu Patani dengan Bahasa Minangkabau. Padang.
  • National Geographic Indonesia. (2019). Jejak Adityawarman di Sumatra Barat.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x