x

Paradoks Domino, Deforestasi, dan Mafia: Publik Desak Menteri Kehutanan Diperiksa

waktu baca 4 menit
Minggu, 7 Sep 2025 20:45 238 Editor

Mataxpost | Pekanbaru – Polemik makin memanas setelah dua pejabat negara, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni serta Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding, kedapatan asyik bermain domino atau batu gaplek bersama Aziz Wellang seorang yang diduga tersangka pembalak liar dan disebut bagian dari mafia ilegal logging. Foto pertemuan itu cepat viral dan menimbulkan kecurigaan publik. (08/09)

 

Klarifikasi yang disampaikan Raja Juli Antoni bahwa dirinya hanya hadir atas undangan Karding dan tidak mengenal peserta lain, tak lantas meredakan kritik. Justru paradoks semakin terasa: seorang menteri yang berjanji menindak tegas para pembalak liar terekam dalam satu meja dengan Aziz Wellang figur yang dikaitkan dengan kejahatan kehutanan, sementara di saat bersamaan ia menggulirkan kebijakan yang dianggap membuka jalan bagi deforestasi lebih besar.

 

Kontroversi ini menggiring perhatian Redaksi pada rencana alih fungsi hutan seluas 20 juta hektar beberapa waktu yang lalu dan menuai penolakan luas dari sejumlah kelompok aktivis lingkungan.

 

Data menunjukkan Indonesia sudah berada dalam kondisi kritis: Riau kehilangan 4,2 juta hektar hutan sepanjang 2001–2023, disusul Kalimantan Barat 4,04 juta hektar, Kalimantan Timur 3,79 juta hektar, dan Kalimantan Tengah 3,74 juta hektar. Empat provinsi ini saja menyumbang lebih dari separuh hilangnya tutupan pohon nasional.

 

Bagi aktivis lingkungan dan pengamat kebijakan publik ini bukan solusi melainkan ancaman. Mereka menilai wacana tersebut justru memperbesar ruang eksploitasi dengan dalih ketahanan pangan dan energi, padahal dampak ekologisnya berlapis: hilangnya keanekaragaman hayati, meningkatnya emisi karbon, hingga ancaman langsung terhadap pangan dan air. Publik pun menilai langkah ini kontradiktif dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang berulang kali menegaskan perlindungan hutan dan penanganan perubahan iklim.

 

Paradoks kebijakan juga tampak di lapangan terlihat di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), misalnya, operasi Satgas Penyelamatan Kawasan Hutan (PKH) yang dibentuk di bawah koordinasi dari lembaga yang dipimpin Raja Juli Antoni bersama sejumlah instansi lain, justru dinilai tebang pilih.

 

Menurut sebagian masyarakat Riau menyampaikan bahwa Satgas PKH hanya berani menyita lahan rakyat kecil, sementara perusahaan besar yang secara terang-terangan mengeksploitasi hutan dan mengalihkannya menjadi perkebunan sawit dibiarkan begitu saja. Kekecewaan ini menambah kuat kesan bahwa penegakan hukum kehutanan tidak menyentuh akar persoalan, melainkan hanya menekan kelompok paling lemah.

 

Situasi ini mempertegas paradoks yang sudah mencuat, ketika pejabat negara justru terlihat dalam posisi yang menimbulkan kecurigaan kedekatan dengan jaringan Mafia ilegal logging.

 

Para menteri yang duduk satu meja dengan seorang diduga tersangka pembalak liar kini memancing kemarahan publik. Desakan kepada Kejaksaan Agung maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera bertindak memeriksa Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Raja Juli Antoni serta Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding kian menguat.

 

Publik menilai, persoalan ini bukan sekadar citra, tetapi menyangkut integritas pejabat tinggi negara yang sedang memegang kendali atas kebijakan strategis terkait hutan dan lingkungan.

 

Ketua Harian Organisasi SATU GARIS, Ricky Fatir di Pekanbaru menegaskan,

 

“Kejaksaan Agung dan KPK harus segera memeriksa para pejabat negara yang merusak integritas dan diduga menikmati hasil konflik kehutanan. Selama ini perusahaan besar tetap tegak berdiri, sementara rakyat kecil yang jadi korban. Jangan sampai hukum hanya jadi penutup mulut untuk melindungi korporasi.” ujarnya

 

Aktivis lingkungan juga mengingatkan bahwa kerusakan hutan bukan hanya soal hilangnya pepohonan, tapi juga hilangnya ruang hidup masyarakat adat.

 

“Kebijakan yang direncanakan hanya akan memperparah penderitaan masyarakat yang bergantung pada hutan. Pemerintah harus berhenti menggadaikan hutan untuk kepentingan jangka pendek,” ujar Ronny Riyansah salah seorang pegiat lingkungan di Riau.

 

Sementara itu, seorang aktivis antikorupsi di Riau Cecep Permana Galih menilai persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari potensi praktik rente.

 

“Setiap ada kebijakan besar terkait hutan, selalu ada peluang transaksi gelap. Pertemuan pejabat dengan figur yang terhubung dengan pembalakan liar harus jadi alarm serius bagi aparat penegak hukum,” tegasnya.

 

Suara mahasiswa lain pun ikut menyeruak. Perwakilan mahasiswa dari Riau Andi menyatakan,

 

“Kami kecewa melihat pejabat yang seharusnya melindungi hutan justru tampak “akrab” dengan mereka yang diduga merusak hutan. Kami akan terus mendesak penegakan hukum yang adil, tidak hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.” pungkasnya

 

Pada akhirnya, publik menuntut kejelasan. Kejaksaan Agung dan KPK harus membuka secara transparan apakah para pejabat negara ini memiliki hubungan khusus dengan pihak yang diduga sebagai jaringan mafia ilegal logging. Tanpa penyelidikan tuntas dan keberanian menyentuh aktor besar baik terkait tipikor, suap, maupun TPPU penegakan hukum akan terus dianggap tebang pilih, dan kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam melindungi hutan hanya akan menjadi slogan kosong.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x