Jakarta, 26 September 2025 โ Provinsi Riau tengah berada di pusaran badai besar. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Nomor 25.B/LHP/XVIII.PEK/05/2025 bukan sekadar catatan teknis, melainkan ledakan politik dan hukum yang mengungkap wajah asli pengelolaan keuangan daerah.
BPK mencatat adanya kesepakatan anggaran antara TAPD dan Banggar DPRD Riau pada saat penyusunan APBD Perubahan 2024. Kesepakatan itu tidak didasarkan pada kondisi riil fiskal daerah, artinya proyeksi pendapatan dinaikkan (digelembungkan) padahal basis penerimaan tidak realistis.
Akibatnya, belanja pun ikut membengkak dan sebagian dibebankan ke tahun anggaran berikutnya. Inilah yang memunculkan utang jangka pendek Rp1,806 triliun dan menyebabkan beban fiskal Riau makin berat.
BPK dalam laporannya menegaskan praktik itu melanggar UU Keuangan Negara, PP tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan sejumlah Peraturan Menteri Keuangan & Pergub Riau. Dengan kata lain, catatan kesepakatan TAPDโBanggar yang tertuang dalam LHP BPK bukan sekadar โnota teknis,โ tetapi bukti formal bahwa perencanaan APBD-P dilakukan tanpa dasar fiskal yang sehat.
Semua itu terjadi di bawah kendali pejabat kunci: Sekda Provinsi Riau S.F. Haryanto selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Kepala BPKAD Indra, Kepala Bapenda Syahrial Abdi, serta pimpinan Banggar DPRD Riau Yulisman, Agung Nugroho, dan Hardianto.ย
Sebagai catatan pada tahun 2024, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) Provinsi Riau dilakukan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh Indra SE MM yang menjabat sebagai Pj Sekdaprov lalu Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Riau adalah Ispan Syahputra, yang juga menjabat sebagai Sekretaris BPKAD. Sementara itu, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Riau adalah Evaferita, SE., M.Si, yang dilantik pada 2 Januari 2024 menggantikan Dr. Syahrial Abdi, AP., M.Si .mereka harus diminta pertanggungjawaban atas kasus ini.
Namun persoalan besar lain bukan hanya angka atau nama pejabat. Publik Riau mulai menyoroti dugaan jaringan yang melindungi SF Haryanto. Bisik-bisik politik diruang publik menyebutnya sebagai โGolden Boy”, sosok yang diduga mendapatkan perlindungan dari jaringan Mantan Gubernur Rusli Zainal (RZ), yang memimpin Riau dua periode (2003-2013) dan juga Ketua Golkar Riau saat itu. Perlindungan ini diyakini membua Sf Haryanto selamat dari jeratan hukum, termasuk ketika badai kasus PON Riau menjatuhkan RZ sendiri dan beberapa pejabat lainnya.
SF Haryanto pernah selamat dari badai kasus PON Riau, kemudian sekitar 2016 berlabuh ke Kementerian PUPR sebelum kembali ke Riau, tahun 2021 berpindah posisi jadi Sekda di era Gubernur Syamsuar, lalu Penjabat Gubernur, lalu kembali Sekda di era Rahman Hadi sebagai Pj Gubernur.
Kini ia naik kelas menjadi Wakil Gubernur Riau periode 2025โ2030. Pola karier ini menimbulkan dugaan kuat bahwa ada jaringan politik yang kuat di belakangnya, termasuk koneksi dengan partai Golkar di Pusat dan tokoh elite lama Riau, yang memungkinkan Sf Haryanto tetap kebal hukum meski namanya jelas tercantum dalam LHP BPK.
BPK sudah jelas mengeluarkan rekomendasi. Berdasarkan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rekomendasi BPK wajib ditindaklanjuti oleh entitas yang diperiksa dalam hal ini Gubernur Riau paling lambat 60 hari sejak LHP diterima.
Batas waktu itu sudah lewat, apakah sudah ditindaklanjuti oleh gubernur Riau? Jika rekomendasi BPK tidak ada penyelesaian, Bukankah ini membuka pintu pidana, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
Sekretaris Jenderal Ormas SATU GARIS, Afrizal A.Md, menegaskan publik tidak boleh diam.
โTemuan BPK ini adalah fakta hukum, bukan opini. Kalau sudah lewat 60 hari tidak ditindaklanjuti, maka ada unsur pidana. KPK dan Kejaksaan Agung harus segera bergerak, karena rakyat Riau berhak melihat hukum ditegakkan tanpa pandang bulu,โ ujarnya di Jakarta, Jumat (26/9).
Bahkan seorang praktisi hukum, Bobson, resmi melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan APBD-P Riau 2024 ke KPK. Laporan setebal 24 halaman itu mendalilkan adanya rekayasa fiskal dan kerugian negara lebih dari Rp1,8 triliun.
Dokumen yan6g terdaftar dengan Nomor 21/Peng.Pid/KL/LFB/M/VI/2025 menyoroti kejanggalan mulai dari penyusunan anggaran tidak realistis hingga pembengkakan belanja yang dibebankan ke tahun berikutnya.
Afrizal kembali mengingatkan bahwa publik Riau tidak boleh kehilangan harapan.
โKalau aparat penegak hukum bungkam, kita akan bertanya-tanya: apakah hukum ini masih ada? Kalau Kejaksaan Agung dan KPK tak mampu menyentuhnya, maka tidak ada pilihan lain selain Presiden Prabowo turun tangan. Bahkan, kalau perlu Jaksa Agung Burhanuddin dievaluasi, Ketua KPK diganti, demi mengembalikan kepercayaan rakyat kepada hukum,โ tegasnya.
Hari ini, publik Riau melihat ironi: pejabat yang namanya muncul dalam dokumen BPK kini duduk sebagai Wakil Gubernur Riau. Jika benar ada kekuatan besar yang melindungi, rakyat Riau berhak tahu: siapa yang melindungi, siapa yang menutup jalan hukum itu?
Pertanyaan publik kian meluas: apakah Jaksa Agung Burhanuddin harus diganti agar hukum kembali tajam di Riau? Atau Presiden Prabowo Subianto yang harus turun tangan langsung untuk membongkar rantai perlindungan di balik pejabat Riau?
Riau berdiri di tepi jurang: krisis fiskal yang menumpuk utang, krisis moral yang melahirkan pejabat kebal hukum, dan krisis kepercayaan publik.
Di tengah semua itu, nama S.F. Haryanto berdiri tegak simbol pahit pertanyaan: apakah hukum masih hidup, atau hanya sandiwara untuk melindungi elite yang rakus?
Tidak ada komentar