
.


Pekanbaru โ Pemerintah Provinsi Riau di bawah kepemimpinan Gubernur Abdul Wahid dan Wagub SF Haryanto tengah menghadapi paradoks fiskal yang kian mencolok. Kas daerah tercatat surplus, namun belanja publik seret. Anggaran tersedia, tetapi pembangunan jalan nihil, infrastruktur tdak terlihat, hingga pembayaran proyek tunda bayar tahun 2024 yang belum tuntas. Di sisi lain, belasan ribu guru dan ASN masih menunggu gaji yang terlambat hingga hari ini (20/10).
Data resmi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Riau menunjukkan bahwa hingga Agustus 2025, realisasi pendapatan daerah mencapai Rp 18,76 triliun atau 49,10 persen dari pagu anggaran. Sementara itu, belanja baru terealisasi Rp 17,14 triliun atau 43,6 persen, sehingga APBD Riau masih mencatat surplus kas sebesar Rp 1,62 triliun. Kondisi ini menunjukkan keamanan fiskal, tetapi secara ekonomi menandakan rendahnya daya dorong pembangunan.
Kepala Kanwil DJPb Riau, Heni Kartikawati, beberapa kali menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Riau perlu mempercepat realisasi belanja yang produktif dan berkualitas agar anggaran publik berdampak nyata. โBelanja daerah harus diarahkan untuk kegiatan yang produktif dan mendorong pertumbuhan ekonomi,โ ujarnya. Namun pesan ini tampaknya belum diindahkan.
Hingga triwulan ketiga, arah pembangunan di bawah kepemimpinan Abdul Wahid dan SF Haryanto belum terlihat jelas. Proyek infrastruktur minim terlihat, beberapa program strategis yang direncanakan sejak 2024 belum berjalan, dan janji Baju Seragam Sekolah Gratis untuk anak-anak Riau hanya menjadi dongeng pengantar tidur. Bahkan, hutang proyek tunda bayar tahun 2024 disebut belum seluruhnya dilunasi, padahal dana kas daerah tersedia.
Ironisnya, duo pimpinan Riau yang dinilai terlalu dekat di sebut akrab, Sf Haryanto yang tetap tampil glamor, sedangkan Abdul Wahid yang ciri khas elegant dengan retorika mengusung tema “APBD yang defisit” diiringi padatnya agenda seremonial, meski kondisi pembangunan Riau stagnan.
Sayangnya, Dinas Pendidikan Riau pada Oktober 2025 kembali menghadapi penundaan pembayaran gaji guru dan ASN. Kepala Dinas Pendidikan, Erisman Yahya, menjelaskan:
โAnggaran untuk gaji di Dinas Pendidikan Provinsi Riau hanya cukup untuk 9 bulan. Kekurangannya baru bisa dipenuhi melalui APBD Perubahan (APBDP) tahun anggaran 2025. Kami menjalankan APBD Murni 2025 yang disusun pada tahun sebelumnya, 2024. Tentu kami hanya bisa menjalankan apa yang ada dan tidak bisa tiba-tiba menyulap agar seluruh anggaran gaji ASN bisa langsung untuk 12 bulan.โ ujar Erisman dalam vidio klarifikasi yang beredar di ruang publik.
Erisman menambahkan bahwa keterbatasan anggaran ini berdampak tidak hanya pada guru berstatus PPPK, tetapi juga pada seluruh ASN di bawah Disdik Riau bahkan gajinya sendiri juga belum cair.
Namun, pernyataan ini memicu perdebatan publik. Perlu diketahui, APBD Murni adalah anggaran tahunan yang disusun untuk satu tahun penuh, mencakup seluruh pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik.
Bersifat tahunan, komprehensif, dan mengikat, APBD Murni menjadi dasar pelaksanaan keuangan, pengendali kas, dan alat akuntabilitas. Penyesuaian atau tambahan selama tahun berjalan dilakukan melalui APBD Perubahan (APBD-P).
Berdasarkan dokumen resmi Perda APBD Provinsi Riau Tahun Anggaran 2025, Dinas Pendidikan memiliki total alokasi anggaran sebesar Rp 3,04 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2,52 triliun dialokasikan untuk belanja operasi yang mencakup pembayaran gaji, tunjangan, dan honorarium tenaga pendidik. Artinya, secara dokumen resmi, kebutuhan gaji ASN dan guru telah dianggarkan untuk 12 bulan penuh, bukan hanya 9 bulan sebagaimana disampaikan Kadisdik Riau.
Keterlambatan pembayaran gaji diduga terjadi akibat ketidaktepatan dalam pengelolaan kas daerah atau lambatnya proses administrasi pencairan. Selain itu, terdapat dugaan adanya pergeseran anggaran ke pos lain yang belum dijelaskan secara terbuka. Oleh sebab itu, pernyataan Kadisdik Riau dinilai belum sepenuhnya dapat diterima, mengingat klarifikasi yang disampaikan tidak disertai dokumen resmi pendukung dan berpotensi menyesatkan publik.โ
Jika anggaran untuk gaji diduga dialihkan ke pos lain tanpa revisi resmi, hal ini berpotensi menjadi maladministrasi fiskal dan pelanggaran hukum, dengan dampak nyata pada guru, ASN, dan kepercayaan publik.
Berbagai respon muncul di ruang publik.
โKalau OPD lain bisa membayar gaji dan TPP tepat waktu, lalu kenapa Dinas Pendidikan tidak? Ini bukan soal uang, ini soal prioritas,โ ujar Mustakim, pengamat kebijakan publik.
Dalam rapat dengar pendapat DPRD Riau bersama BPKAD pada 13 Oktober 2025, terungkap bahwa Disdik Riau belum mengajukan dokumen pencairan secara lengkap, alasan yang dinilai sejumlah pihak kurang logis. Ada frasa kalimat antar lembaga tidak sinkron yang tercetak jelas dalam berbagai media online.
Analisis fiskal sementara dari redaksi menunjukkan beberapa kemungkinan, meski belum tentu benar sebelum ada laporan resmi auditor negara:
1. Penundaan kas atau cash blocking oleh BPKAD yang menahan dana Disdik.
2. Revisi anggaran yang tidak sinkron dalam sistem SIPD.
3. Pengalihan prioritas kas antarpos tanpa revisi APBD resmi.
Jika dugaan ini benar, pola tersebut termasuk maladministrasi fiskal dan berpotensi melanggar PP No. 12/2019 serta UU No. 23/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Seorang pejabat internal menyebut:
โKas daerah Riau tinggi, tapi entah kenapa uang seakan sengaja ditahan di rekening. Tidak digunakan untuk membayar proyek lama, tidak juga untuk pembangunan.โujarnya
Pertanyaan besar muncul: apakah Pemprov Riau tidak memahami pengelolaan pembangunan, atau ada alasan lain di balik menahan kas daerah sementara publik menanggung akibatnya? Dalam situasi ekonomi yang membutuhkan stimulus, menahan kas justru memperlambat perputaran ekonomi dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Bagi guru, keterlambatan gaji bukan sekadar angka, tetapi soal kelangsungan hidup.
โKami sudah dua kali mengalami hal yang sama tahun ini. Mereka bilang kas aman, tapi gaji tetap belum cair,โ ujar seorang guru SMA di Pekanbaru.
Kondisi ini menggambarkan wajah fiskal Riau yang ironis: uang banyak tapi tidak bergerak, proyek lama belum lunas, proyek baru mandek, dan hak pegawai tertunda. Dalam laporan keuangan, Pemprov Riau tampak sehat, namun birokrasi fiskalnya sakit.
Publik menuntut transparansi. Surplus kas daerah bukan prestasi jika dibayar dengan stagnasi pembangunan dan keterlambatan hak pegawai.
Pertanyaan mendasarnya sederhana: mengapa uang rakyat dibiarkan tidur di rekening pemerintah, sementara jalan rusak, proyek menunggu, dan guru belum dibayar? Jika anggaran Dinas Pendidikan itu dialihkan ke pos lainnya, lalu siapa yang melakukan, dan siapa yang harus bertanggung jawab?

Tidak ada komentar