Mataxpost.com | Pekanbaru, 2 Oktober 2025 โ Dugaan kriminalisasi terhadap mantan Sekretaris DPRD Riau sekaligus eks Penjabat Wali Kota Pekanbaru, Muflihun, mencuat ke publik setelah pra peradilan dimenangkan olehnya atas Rumah dan Apartemen yang disita untuk dijadikan barang bukti oleh penyidik Polda Riau dalam kasus dugaan SPPD fiktif yang sempat menghebohkan Riau kini menampilkan sisi gelap praktik hukum, politik, dan profesionalisme lembaga audit di provinsi ini.
Pada tahun anggaran 2020โ2021, Sekretariat DPRD Riau diduga melakukan praktik SPPD fiktif. Berdasarkan audit awal oleh BPK Perwakilan Riau, kerugian negara dilaporkan mencapai Rp195,9 miliar. Temuan audit ini menjadi dasar penyidikan oleh Polda Riau, yang menyita sejumlah aset milik Muflihun, termasuk rumah di Pekanbaru dan apartemen di Batam. Penyitaan dilakukan sebelum adanya kepastian hukum, menimbulkan pertanyaan serius terkait prinsip due process dan perlindungan hak konstitusional.
Pada 17 September 2025, Pengadilan Negeri Pekanbaru menggelar sidang praperadilan yang diajukan Muflihun. Hakim tunggal, Dedi SH MH, menyatakan bahwa penyitaan aset oleh Polda Riau tidak sah dan batal demi hukum. Hakim menegaskan bahwa tindakan penyitaan melanggar hak konstitusional Muflihun dan, lebih penting lagi, tidak ada kerugian negara yang nyata dan pasti. Dengan demikian, tuduhan pidana korupsi terhadap Muflihun secara hukum tidak terbentuk.
Audit BPK yang menyebut kerugian Rp195,9 miliar kini dipertanyakan. Metodologi dan verifikasi bukti dianggap lemah karena angka tersebut dijadikan dasar penyitaan. Putusan hakim menegaskan audit ini tidak mencerminkan kerugian nyata, sehingga muncul dugaan kelemahan profesionalisme BPK Perwakilan Riau.
Dugaan intervensi eksternal atau kompromi audit belum terbukti secara hukum, namun fakta bahwa laporan audit dijadikan dasar dugaan kriminalisasi dan menimbulkan pertanyaan serius terkait integritas dan profesionalisme lembaga.
Sebagian masyarakat Riau menuntut evaluasi menyeluruh kinerja dan hasil audit terhadap auditor BPK Perwakilan Riau untuk memastikan profesionalisme dan akuntabilitas setiap laporan audit yang dijadikan dasar tindakan hukum.
Kasus ini semakin kontroversial karena muncul menjelang Pilkada Kota Pekanbaru 2024, saat Muflihun menjadi calon kepala daerah. Penyitaan aset dan tuduhan pidana muncul tepat sebelum masa kampanye, menimbulkan dugaan bahwa kasus ini merupakan โpesanan kriminalisasiโ untuk menjatuhkan kredibilitas calon tertentu. Dampak terhadap reputasi Muflihun terlihat nyata: citra politiknya tercoreng, dan posisi tawarnya dalam kontestasi Pilkada melemah.
Jika benar dimaksudkan untuk kepentingan politik, tindakan ini termasuk pelanggaran hak konstitusional dan potensi pelanggaran HAM berat, karena menyasar individu melalui rekayasa kasus hukum.
Hari ini, masyarakat Riau menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang pemuda daerah ini diduga kuat telah dikriminalisasi oleh aparatur hukum. Pertanyaan besar pun muncul: siapa sebenarnya pihak yang menginginkan kasus ini dimunculkan ke permukaan?โ
โKami melihat ini jelas tidak adil. Seorang pemuda Riau dikriminalisasi saat ia mencoba berkompetisi secara politik. Ini jelas-jelas pelanggaran hak konstitusional dan HAM,โ ujar Rudi, seorang aktivis masyarakat Pekanbaru.
Warga lain, Siti, ibu rumah tangga, menambahkan: โPutusan pengadilan sudah jelas, tidak ada kerugian negara. Kenapa sampai disita asetnya? Pantesan penyidik hingga sekaranv tidak berani menetapkan tersangka, ini bikin kami meragukan profesionalisme aparat dan audit BPK.โungkapnya
Kasus ini memiliki implikasi hukum yang serius. Muflihun dapat mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Polda Riau jika penyitaan menimbulkan kerugian materiil atau immateriil.
Jika terbukti aparat sengaja menyalahi prosedur hukum, mereka dapat dijerat dengan tindak pidana penyalahgunaan wewenang. Selain itu, Muflihun berhak mengajukan ganti rugi atau restitusi atas aset yang disita secara tidak sah.
Putusan praperadilan menegaskan pentingnya due process of law, menyoroti bahwa setiap tindakan aparat harus dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Masyarakat Riau kini mendesak Mabes Polri untuk memeriksa seluruh tim penyidik yang menangani kasus ini, termasuk mantan Dirkrimsus Nasriadi, eks Kapolda Riau M. Iqbal, dan penyidik terkait lainnya.
Jika terbukti ada rekayasa atau intervensi politik, negara harus bertindak tegas: memberikan sanksi kepada aparat yang diduga menyalahgunakan wewenang, mengevaluasi auditor BPK Perwakilan Riau, serta membersihkan nama Muflihun di mata publik.
Kasus ini bukan sekadar dugaan korupsi administratif. Ia menunjukkan bagaimana kriminalisasi dapat dimanfaatkan sebagai alat politik, merusak reputasi individu, mencederai demokrasi, dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Jika aparat hukum dan lembaga audit tidak dievaluasi serta dipertanggungjawabkan, praktik semacam ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Riau maupun nasional.
Evaluasi menyeluruh, investigasi aparat, dan pemulihan nama baik Muflihun menjadi keharusan untuk menegakkan keadilan dan menghormati hak konstitusional setiap warga negara.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Polda Riau maupun BPK Perwakilan Riau. Sementara itu, penasihat hukum Muflihun menegaskan akan menempuh jalur hukum lainnya untuk membersihkan nama baik eks Pj Wali Kota Pekanbaru tersebut.
Tidak ada komentar