x
.

Eks Sekda Pekanbaru Diduga Kuasai 84 Hektare Hutan Negara, Disulap Jadi Kebun Sawit

waktu baca 4 menit
Sabtu, 18 Okt 2025 04:41

Mataxpost | Pekanbaru โ€“ Aroma penyalahgunaan kekuasaan kembali tercium dari jejak seorang mantan pejabat tinggi di Kota Pekanbaru. M. Noer, MBS, yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda), diduga kuat menguasai 84 hektare kawasan hutan negara di wilayah perbatasan Bukit Raya โ€“ Tenayan Raya, dan menyulapnya menjadi kebun kelapa sawit serta mendirikan bangunan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB/PBG). (18/10)

Dugaan ini mengemuka setelah Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Jurnalis Penyelamat Lingkungan Hidup (LSM AJPLH) melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan nomor perkara 353/Pdt.Sus-LH/2025/PN Pbr.

Dalam gugatannya, AJPLH menuding M. Noer telah melakukan perampasan ruang negara dan perusakan ekosistem hutan yang semestinya menjadi kawasan lindung.

Berdasarkan informasi dari sumber yang dapat dipercaya dan dari berkas gugatan, penguasaan lahan tersebut dilakukan bertahap sejak M. Noer masih menjabat sebagai Camat, hingga menduduki posisi strategis sebagai Sekda Kota Pekanbaru di era Wali Kota Firdaus.

LSM menilai tindakan itu bukan hanya pelanggaran hukum lingkungan, tetapi juga potret rusaknya tata kelola birokrasi yang seharusnya menjaga aset negara.

> โ€œKami menemukan bukti kuat bahwa sebagian hutan negara di wilayah Pekanbaru telah berubah fungsi menjadi kebun sawit pribadi. Ini bentuk nyata penyalahgunaan wewenang dan perampasan ruang publik,โ€ tegas perwakilan AJPLH yang dikutip dari beberapa media lokal.

Sidang perdana perkara ini digelar pada Kamis, 9 Oktober 2025, di Ruang Sidang Prof. Oemar Seno Adji, SH, PN Pekanbaru. Agenda awal mendengarkan kehadiran para pihak ditunda karena tergugat mangkir dari panggilan pertama, dan sidang lanjutan dijadwalkan 30 Oktober 2025.

Dalam gugatannya, AJPLH meminta majelis hakim menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) dan menghukum untuk memulihkan kembali kawasan hutan seluas 84 hektare ke kondisi semula.

Tergugat juga diminta menumbang seluruh pohon sawit, merobohkan bangunan, serta melakukan reboisasi dengan tanaman kehutanan asli seperti meranti, kempas, dan tembesu.

Selain itu, AJPLH menuntut tergugat membayar biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp8 miliar serta uang paksa Rp5 juta per hari bila lalai melaksanakan putusan.

Kawasan tersebut juga diminta untuk diserahkan kembali kepada Negara Republik Indonesia c.q. Kementerian Kehutanan sebagai pemegang kewenangan sah atas hutan negara.

Pekanbaru Masih Menyimpan Kawasan Hutan Negara

Meski dikenal sebagai kota metropolitan dan pusat ekonomi Riau, Kota Pekanbaru ternyata masih memiliki kawasan hutan negara yang berstatus sah menurut peta resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Berdasarkan SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 serta pembaruan data kawasan hutan tahun 2023, tercatat masih ada sekitar 2.000 hingga 2.500 hektare hutan negara di wilayah administratif Pekanbaru.

Kawasan hutan tersebut sebagian besar tersebar di Kecamatan Tenayan Raya, Bukit Raya bagian selatan, dan Rumbai Timur. Di Tenayan Raya, beberapa kelurahan seperti Sialang Rampai, Sialang Sakti, dan Tanjung Bunut masih teridentifikasi sebagai Hutan Produksi Konversi (HPK).

Sebagian area bahkan bersinggungan dengan proyek Kawasan Industri Tenayan dan PLTU Tenayan, di mana status pelepasan hutannya hingga kini belum sepenuhnya tuntas.

Sementara itu, di kawasan Rumbai dan Rumbai Timur, masih terdapat area hutan lindung kecil dan sempadan Sungai Siak yang masuk dalam peta kehutanan KLHK. Beberapa titik di wilayah ini sudah berubah fungsi menjadi kebun sawit dan permukiman warga.

Adapun di Bukit Raya bagian selatan, sisa kawasan hutan produksi yang berbatasan dengan Kabupaten Kampar masih tercatat aktif dalam sistem peta kehutanan nasional.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, sebagian dari kawasan hutan di Pekanbaru belum pernah dilepaskan secara hukum, namun telah lama digarap masyarakat, individu, bahkan korporasi.

Kondisi ini memicu munculnya sengketa agraria dan gugatan lingkungan, seperti perkara dugaan penguasaan 84 hektare hutan negara yang kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa Pekanbaru masih menyimpan kantong-kantong hutan negara, meski di tengah kepadatan pembangunan kota. Apabila penguasaan lahan di wilayah tersebut dilakukan tanpa izin pelepasan dari KLHK, maka secara hukum dapat dikategorikan sebagai bentuk penguasaan kawasan hutan negara secara ilegal.

Jika dugaan penguasaan lahan ini terbukti di pengadilan, maka M. Noer dapat dijatuhi sanksi hukum atas perbuatan melawan hukum dan tindak pidana lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Perbuatan tersebut berpotensi dikenai pidana penjara hingga 10 tahun dan denda miliaran rupiah, di samping kewajiban pemulihan lingkungan.

Kasus ini membuka tabir gelap bagaimana aset negara dapat berpindah ke tangan individu berpengaruh dengan dalih โ€œpemanfaatan lahanโ€.

Dugaan keterlibatan mantan pejabat strategis daerah menjadi bukti bahwa korupsi sumber daya alam tidak selalu berbentuk uang, melainkan penguasaan ruang dan kekuasaan.

Redaksi Mataxpost masih berupaya menghubungi M. Noer untuk memperoleh klarifikasi dan membuka hak jawab atas dugaan tersebut.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x