
.


Mataxpost | Investigasi Khusus
Siak, – Di hadapan publik, Bupati Siak Afni Zulkifli sering tampil sebagai sosok yang peduli lingkungan. Ia berbicara lantang tentang pelestarian alam, keseimbangan ekosistem, dan pentingnya menjaga hutan demi generasi mendatang. (13/10)
Sebelum Redaksi mengupas lebih jauh, perlu ditegaskan bahwa, dalam ruang demokrasi, jabatan publik bukan sumber fitnah melainkan sumber tanggung jawab. Kritik terhadap pejabat bukan serangan pribadi, melainkan bagian dari pengawasan publik terhadap kekuasaan yang dijalankan atas nama rakyat.
Karena itu, setiap pejabat, termasuk Afni Zulkifli, tidak dapat bersembunyi di balik narasi โjabatan adalah sumber fitnahโ , apalagi meanggap kritikan sebagai fitnah, untuk menghindari evaluasi atas rekam jejak dan kebijakan yang telah dijalankannya. Justru, semakin tinggi jabatan yang diemban, semakin besar pula kewajiban untuk transparan, terbuka, dan siap dikritik.
Diberbagai kesempatan Bupati Siak Afni bahkan menyebut dirinya bagian dari perjuangan penyelamatan lingkungan, Namun di balik tutur yang manis dan citra hijau yang dibangun, tersimpan catatan masa lalu yang tak bisa dihapus begitu saja.
Sebelum menjadi bupati, Afni bukanlah aktivis lapangan yang berhadapan dengan alat berat di hutan, atau pendamping masyarakat adat dalam konflik agraria. Ia adalah bagian dari sistem kekuasaan yang mengatur hutan dari dalam meja birokrasi. Afni pernah menjabat sebagai Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar posisi strategis di jantung kebijakan kehutanan nasional. Pada masa itu.
Sebagai Tenaga Ahli Menteri LHK bidang komunikasi digital dan media sosial, Afni Zulkifli bukanlah perumus kebijakan hutan, biasanya jabatan tenaga ahli di bidang tersebut bertugas sebagai perancang narasinya. Ia berada di ruang di mana kebijakan yang kontroversial dipoles agar tampak berwawasan lingkungan. Di saat izin pelepasan hutan dan ekspansi industri menuai kritik publik, tugasnya justru memastikan bahwa kementerian tetap terlihat hijau di mata masyarakat.
Dari ruang komunikasi itulah lahir wajah “ramah lingkungan” Kementerian LHK, dengan slogan tentang gajah, konservasi, dan ekonomi hijau yang menenangkan, sementara di lapangan alat berat terus menebas hutan Riau. Di balik layar, kerja semacam ini bukan tentang menjaga hutan, tetapi menjaga citra. Bukan tentang melawan kerusakan, tetapi mengatur bagaimana kerusakan itu dikisahkan dengan bungkusan tampak baik.
Maka ketika Afni kini tampil sebagai bupati dengan narasi “pemimpin hijau”, publik yang memahami struktur kekuasaan akan tahu bahwa ia bukan datang dari barisan yang menggugat kebijakan, melainkan dari barisan yang membingkainya agar tampak benar. Dalam bahasa komunikasi politik, ia bukan aktivis lingkungan, ia adalah arsitek persepsi lingkungan.
Maka tak mengherankan jika kepemimpinan Afni di Siak kerap muncul di depan kamera. Ia memahami bahwa dalam politik modern, citra sering kali lebih penting daripada substansi. Di balik setiap pidato dan unggahan media sosialnya, ada upaya sistematis membentuk persepsi publik tentang โpemimpin hijauโ meski realitas, belum tampak perubahan.
Diketahui bahwa Kementerian LHK di bawah kepemimpinan Siti Nurbaya banyak mengeluarkan sejumlah kebijakan yang membuka ruang legal bagi ekspansi industri ke dalam kawasan hutan: pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan HTI, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang dan infrastruktur, hingga pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja yang memperlonggar izin lingkungan.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat bahwa selama kepemimpinan Siti Nurbaya, laju deforestasi Indonesia meningkat dari 1,1 juta hektare per tahun (2009โ2013) menjadi 1,47 juta hektare per tahun (2013โ2017). Sebagian besar kehilangan hutan itu terjadi di Kalimantan dan Sumatera, dengan Riau sebagai salah satu episentrum utama.
Dalam periode tersebut, jutaan hektare hutan alam Riau termasuk di Siak, Pelalawan, dan Bengkalis hilang, berganti menjadi kebun sawit dan hutan tanaman industri. Kebijakan yang diambil dari pusat tempat Afni turut menjadi bagian secara sistematis mengubah bentang alam Riau menjadi lahan industri.
Kini, setelah duduk di kursi Bupati, Afni tampil dengan wajah baru: bupati muda yang seolah lahir dari rahim perjuangan rakyat. Ia sering menampilkan diri sebagai pembela masyarakat kecil, terutama mereka yang hidup di kawasan hutan tanpa status hukum yang jelas.
Dalam pidatonya, ia menyebut diri sedang memperjuangkan keadilan bagi rakyat agar tidak lagi menjadi korban kebijakan. Tapi hasil investigasi yang mengikuti rekam jejak langkahnya, Rakyat yang kini ia bela sejatinya adalah korban dari kebijakan yang dulu ikut ia poles. Mereka kehilangan hutan, tanah, dan sumber hidup, sementara kekuasaan yang dulu ia bantu rawat kini ia kritik seolah tak pernah menjadi bagiannya.
Label โaktivis lingkunganโ melekat pada Afni mungkin ketika ia mulai menjabat sebagai Tenaga Ahli di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tidak jelas siapa yang pertama kali memberi label itu, apakah pengakuan publik, pencitraan kelembagaan, atau sekadar klaim pribadi yang menguat seiring viralnya ia berbicara tentang penyelamatan gajah yang sempat viral beberapa tahun lalu.
Dalam video yang beredar Afni justru lebih menyalahkan masyarakat lokal sebagai penyebab konflik satwa, alih-alih menyoroti perusahaan besar yang merambah hutan dan merusak habitat gajah di Riau.
Bukan Gajah yang masuk kekebun bapak, tapi bapaklah yang masuk kerumah Gajah” Ujar Afni,
Kini ia memoles citranya sebagai “pejuang rakyat”, klaim yang berlawanan saat ia menuduh masyarakat sebagai perusak lingkungan kawasan hutan, Padahal, berbagai kajian menunjukkan bahwa konflik satwa liar di Riau justru dipicu oleh ekspansi industri sawit dan HTI yang menggerus wilayah jelajah gajah.
Sebelum itu, Afni lebih dikenal sebagai wartawan dan dosen kebijakan publik, jauh dari aktivitas advokasi ekologis atau pendampingan masyarakat.
Sementara itu, Riau terus berdarah. Kabupaten Siak, yang kini ia pimpin, adalah wilayah kaya sumber energi minyak, sawit, dan kayu. Di sanalah berdiri PT Indah Kiat Pulp and Paper, pabrik kertas terbesar di Asia, simbol dominasi industri atas alam. Sejak pabrik itu beroperasi, bentang hutan di sekitarnya berubah drastis.
Tutupan hutan alam di Siak berkurang lebih dari 40 persen dalam satu dekade terakhir. Di atas kertas, semua tampak legal. Tapi di lapangan, yang tersisa hanyalah hamparan gambut gersang dan lahan bekas terbakar.
Afni kini berbicara tentang โsinergi lingkunganโ, โekonomi hijauโ, dan โpenataan kampung dalam kawasan hutanโ. Ia aktif menghadiri forum nasional, mengutip pasal demi pasal tentang keberlanjutan, dan membangun citra sebagai pemimpin progresif. Namun, struktur ekonomi Siak tak berubah.
Lahan-lahan strategis tetap dikuasai korporasi besar. Konflik agraria belum terselesaikan. Masyarakat adat masih berjuang mempertahankan tanah yang telah mereka tempati jauh sebelum izin industri turun dari Jakarta.
Banyak pihak menilai gaya Afni sebagai bentuk “greenwashing politik” membungkus karier birokratis dengan cat hijau agar tampak sejalan dengan isu lingkungan yang sedang naik daun.
Retorika tentang โmenjaga hutanโ dan โmembela rakyatโ menjadi gimmick politik yang efektif, di tengah kelelahan publik melihat pejabat lama yang tak pernah berubah. Namun tak ada pencitraan yang mampu menutupi fakta: kebijakan yang dulu ia bantu jalankan justru menjadi fondasi kerusakan yang kini sedang ia tangisi.
Riau, tanah yang kaya tapi terluka, kini menjadi panggung dari ironi itu. Di atas panggung, pejabat menanam bibit pohon untuk kamera; di bawahnya, alat berat terus menggali lahan untuk sawit dan akasia. Di satu sisi, pemerintah berbicara tentang karbon, konservasi, dan ekonomi hijau; di sisi lain, izin lama terus berlaku tanpa evaluasi.
Afni mungkin ingin dikenang sebagai โbupati hijauโ. Tapi sejarah punya ingatan yang lebih panjang dari masa jabatan. Hutan-hutan yang hilang, sungai-sungai yang tercemar, dan kampung-kampung yang tergusur adalah saksi bisu dari kebijakan yang tak bisa dibersihkan hanya dengan kata-kata.
Menjadi pembela rakyat tidak cukup dengan klaim dan simbol; itu butuh keberanian menantang kepentingan yang dulu ikut dibela. Hingga hari ini, keberanian itu belum terlihat. Aktivitas โlingkunganโ yang dulu dijalankannya adalah bagian dari program pemerintah, bukan perjuangan dari pribadi atas nama rakyat.
Disclaimer:
Tulisan ini disusun berdasarkan penelusuran data publik, laporan lembaga lingkungan, serta kajian terhadap rekam jejak jabatan yang bersangkutan. Redaksi menegaskan bahwa laporan ini tidak bersifat menuduh, melainkan bentuk analisis jurnalistik untuk kepentingan publik dalam memahami kebijakan Pemerintah Kabupaten Siak.
Redaksi mengedepankan azas praduga tak bersalah dan membuka ruang hak jawab serta klarifikasi bagi Bupati Afni Zulkifli atau pihak terkait, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Tidak ada komentar