
.


Mataxpost | Bengkalis, Riau, – Di saat publik menunggu langkah tegas terhadap dugaan penyimpangan dana desa, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau justru memilih langkah yang dianggap tak lazim: menggelar acara penyuluhan hukum di Bengkalis. Kegiatan yang diklaim sebagai upaya pencegahan korupsi ini justru memunculkan pertanyaan besar di tengah masyarakat apakah Kejati Riau sedang menegakkan hukum, atau malah merangkul pihak yang semestinya diawasi? (09/10)
Kegiatan yang digelar Selasa, 7 Oktober 2025, di ruang Hang Tuah Kantor Bupati Bengkalis itu dihadiri oleh sejumlah camat, kepala desa, lurah, serta aparatur sipil negara (ASN) dan Sekretaris Daerah (Sekda) Bengkalis, Ersan.
Publik Bengkalis menilai langkah Kejati Riau itu lebih menyerupai panggung seremonial daripada langkah penegakan hukum yang nyata. Di tengah maraknya laporan dugaan korupsi dana desa mulai dari mark up proyek, pembangunan fiktif, penggelapan honor aparat, hingga setoran dana kepada pejabat Pemkab, Kejati justru memilih podium, bukan ruang pemeriksaan.
Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Riau Sapta Putra, dikutip dari portal diskominfotik , dalam paparannya mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pencegahan dini terhadap pelanggaran hukum. Ia mengakui banyak potensi penyimpangan dana desa yang terjadi akibat ketidaktahuan perangkat desa terhadap aturan. Namun publik menilai, pengakuan itu justru memperlihatkan ironi yang menohok: Kejati tahu modusnya, tapi mengapa belum ada yang diperiksa?
Di tengah sorotan masyarakat yang sebelumnya diangkat oleh MATAXPOST, terkait dugaan penyimpangan dana desa oleh Pj Kades serta isu jabatan Pj kades dan Pilkades yang tidak di selenggarakan selama dua tahun berturut-turut di kabupaten Bengkalis,, langkah Kejati Riau menggelar penyuluhan hukum dinilai terburu-buru dan tidak sensitif terhadap situasi.
Bagi sebagian kalangan, kegiatan tersebut justru dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap rakyat yang ingin hukum ditegakkan, bukan ditutupi dengan acara berlabel edukasi hukum.
โKami bukan butuh penyuluhan, kami butuh tindakan. Kasus penyimpangan sudah jelas, tapi tidak ada hasil. Sekarang malah dibuat acara penyuluhan. Ini seperti menutup borok dengan pidato,โ ujar H. Tarmizi, tokoh masyarakat Bengkalis, kepada media.
Senada dengan itu, Sekjend SATU GARIS Afrizal Amd CPLA menilai Kejati Riau gagal membaca aspirasi publik.
โKetika rakyat menuntut penindakan, Kejati malah tampil akrab dengan para pejabat dan kepala desa. Ini kontradiktif. Penegak hukum seharusnya menegaskan jarak moral, bukan mencari panggung sosial,โ tegasnya.
Di sisi lain, seorang aktivis perempuan yang biasa dipanggil Bunda Sri beserta beberapa masyarakat lokal saat dimintai tanggapannya justru menyoroti keras langkah Kejati. Banyak yang menyindir bahwa kegiatan semacam ini hanya memperburuk citra lembaga, bukan memperkuat penegakan hukum.
โKalau korupsi bisa dicegah dengan seminar, negeri ini pasti sudah bersih sejak 1998,โ ujar Bunda Sri.
Kegiatan bertema โPeran Serta Kejaksaan Tinggi Riau dalam Pembangunan Strategis Nasional dan Daerahโ itu secara formal memang bernilai edukatif. Namun substansinya tetap dipertanyakan. Publik menilai Kejati Riau lebih banyak bermain di wilayah pencitraan lembaga, bukan pembenahan hukum secara struktural.
โKalau Kejati ingin mencegah korupsi, lakukan audit hukum terhadap realisasi dana desa, bukan seminar. Pembinaan tanpa penindakan hanya memperlemah moral aparat,โ ujar Afrizal menambahkan.
Momentum kegiatan ini pun dinilai janggal. Acara โpenerangan hukumโ muncul tepat setelah isu penyimpangan dana desa ramai dibahas ditengah masyarakat;
“Biasanya, kalau kejaksaan sedang serius menindak, mereka akan memanggil atau memeriksa pihak terkait, mempublikasikan pembaruan penyelidikan, atau setidaknya membentuk tim monitoring dana desa, pungkas Bunda Sri
Lebih jauh, masyarakat Bengkalis mengamati langkah Kejati Riau yang lakukan acara seremonial penyuluhan. Ini bisa dibaca sebagai gerak โmeredam isuโ, bukan menindak. Kesan yang muncul, seolah Kejati ingin menampilkan citra โkami sudah bekerja secara preventifโ agar tidak dituduh diam saja.
Dalam dunia kelembagaan, langkah seperti ini sering disebut strategi komunikasi lembaga atau damage control. Ketika lembaga penegak hukum atau wilayah hukumnya tengah disorot publik, penyuluhan hukum sering dijadikan alat untuk menata ulang citra. Bahasanya memang pencegahan korupsi, tapi praktiknya sering berarti mengalihkan perhatian publik dari desakan penindakan ke kegiatan edukatif.
Dengan mengundang camat, kepala desa, lurah, dan ASN, Kejati membangun kesan seolah berada di pihak pembinaan, bukan penindakan. Padahal, langkah semacam ini justru mengaburkan fungsi utama kejaksaan sebagai penegak hukum, bukan pembina birokrasi.
Langkah Kejati Riau ini juga bisa dibaca sebagai strategi โmerangkul sebelum menindakโ bermuatan politis maupun strategis. Ketika Kejati melihat banyak kepala desa yang mungkin terlibat pelanggaran, mereka bisa saja memilih untuk โmembina duluโ demi menjaga hubungan baik dengan Pemda atau elit lokal.
Namun di sisi lain, jika terlalu lembek, publik akan menilai Kejati sedang bermain aman. Sebaliknya, jika terlalu keras, mereka bisa bentrok dengan Pemda yang memiliki kekuatan politik. Maka kegiatan seperti ini kerap menjadi jalan tengah politis terlihat bekerja tanpa benar-benar mengusik pejabat yang berkuasa.
Fakta bahwa acara digelar di kantor Bupati Bengkalis, dihadiri Sekda, dan diwarnai pidato-pidato formal menunjukkan adanya koordinasi yang halus dengan Pemda. Dalam bahasa kasarnya, โkita tampil bareng dulu, biar adem.โ Langkah semacam ini sering dilakukan untuk mendinginkan suasana di tengah tekanan publik. Daripada memicu kegaduhan dengan pemeriksaan terbuka, Kejati tampaknya memilih menenangkan situasi lewat kegiatan edukatif bersama pemerintah daerah.
Namun bagi masyarakat dan pemerhati hukum, langkah Kejati Riau justru kontraproduktif. Banyak yang menilai Kejati kini terlihat lebih dekat dengan pejabat daripada dengan rakyat, penegakan hukum diganti dengan seremonial, dan para pelaku dugaan penyimpangan merasa lebih aman. Padahal fungsi kejaksaan bukan sekadar penyuluh, tapi penegak dan pengontrol hukum publik.
Seremonial penyuluhan hukum yang digelar Kejati Riau di Bengkalis kini justru memicu gelombang skeptisisme baru. Kegiatan yang seharusnya menanamkan kesadaran hukum malah menimbulkan kesan bahwa Kejati sedang berusaha merangkul para pelaku potensial pelanggaran, bukan menindaknya.
Kejati Riau seharusnya paham: rakyat tidak menuntut kata-kata, mereka menunggu tindakan. Tanpa keberanian untuk menegakkan hukum secara tegas dan terbuka, setiap kegiatan โpenerangan hukumโ hanya akan menjadi panggung legitimasi, bukan penegakan hukum dan keadilan.
Kini publik bertanya dengan getir, masihkah Kejati Riau memiliki jiwa Adhyaksa yang sejati? Jiwa yang semestinya tegak di atas kebenaran, bukan berlutut di hadapan kekuasaan.!?
Sebab ketika โpenjaga hukumโ mulai bersalaman dengan yang diawasi, maka kabur lah batas antara keadilan dan kompromi , dan saat kejaksaan kehilangan jiwa Adhyaksa-nya, yang mati bukan hanya wibawa lembaga, tapi nurani hukum itu sendiri
Gelombang ketidakpercayaan kini makin kuat di Bengkalis. Masyarakat menilai, wajah penegakan hukum di Riau sudah terlalu lama dikotori oleh permainan kekuasaan dan kepentingan.
Desakan pun muncul dari berbagai tokoh dan organisasi lokal agar Presiden Prabowo dan pemerintah pusat turun tangan membersihkan wajah aparat penegak hukum di Riau.
Karena jika pusat diam, rakyat akan percaya bahwa hukum di daerah ini benar-benar sudah mati di bumi lancang kuning.

Tidak ada komentar