
.


MataXpost | Pekanbaru,- Penangkapan seorang aktivis dari organisasi PETIR (Pemuda Tri Karya) oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Riau menimbulkan gelombang kritik keras dari sejumlah organisasi masyarakat sipil di Provinsi Riau. Mereka menilai tindakan tersebut tidak mencerminkan keadilan dan sarat dengan kepentingan korporasi besar yang selama ini diduga terlibat dalam praktik pelanggaran hukum berskala besar. (21/10)
Kecaman datang dari organisasi SATU GARIS dan Dewan Konsorsium Celoteh Riau, gabungan dari aktivis, tokoh masyarakat, dan insan media. Pertemuan yang dihadiri oleh Dewan Konsorsium Celoteh Riau, Ade Monchai,Tino dan Mustakim Mpd, bersama Sekjen SATU GARIS Afrizal Amd CPLA, Ricky Fathir serta Jakop S selaku pengurus PETIR wilayah Riau dan beberapa pemilik media lokal, membahas penangkapan tersebut merupakan tindakan yang tidak proporsional dan cenderung mengkriminalisasi aktivis yang tengah berjuang mengungkap dugaan kejahatan korporasi.
Mereka menilai aparat hukum di Riau seolah menutup mata terhadap dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh salah satu grup perusahaan besar, First Resources Group atau yang dikenal juga dengan PT Surya Dumai Group milik Ciliandra Fangiono.
โKami melihat ini bukan sekadar penegakan hukum, tapi ada aroma pembungkaman terhadap masyarakat sipil. Aktivis yang melaporkan dugaan kejahatan justru dijadikan tersangka. Ini preseden berbahaya,โ tegas Mustakim Sekjend Dewan Konsorsium Celoteh Riau
Organisasi gabungan media dan aktivis SATU GARIS menambahkan
โAparat seharusnya fokus menindak perusahaan yang diduga merugikan negara triliunan rupiah, bukan menekan rakyat kecil yang mencari keadilan,โ tambah Afrizal Amd CPLA Sekjend SATU GARIS
Dalam konteks yang lebih luas, publik Riau hari ini mendesak Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan menegur dan mengawasi kinerja aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian Daerah Riau.
Pemerintah diminta tidak tinggal diam dan segera melakukan reformasi menyeluruh terhadap Polri, agar institusi ini kembali pada jati dirinya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, bukan alat kekuasaan atau kepentingan ekonomi tertentu. Reformasi ini dianggap mendesak untuk memastikan penegakan hukum di Indonesia kembali berpijak pada prinsip keadilan dan kemanusiaan, bukan kekuasaan dan uang.
“Genap Satu Tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjabat tanggal 20 /10, kami memberikan apresiasi yang tinggi terhadap beliau dan juga terhadap Kejaksaan Agung RI, yang sangat berani menyentuh pelaku korupsi besar, akan tetapi hari ini di provinsi Riau disaat yang sama kami mengkritik pemerintahan bahwa di Provinsi Riau penegakkan hukum tidak berjalan sesuai perintah Presiden Prabowo dan harapan masyarakat Riau, pada tanggal 17 Oktober, bertepatan hari lahir Presiden Prabowo, dan Tiga hari sebelumnya, telah terjadi penangkapan terhadap aktivis pegiat antikorupsi, oleh Polda Riau,ย Diduga telah terjadi rekayasa hukum melalui kesepakatan antara pihak kepolisian dan perusahaan korporasi dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap JS, Ketua Umum PETIR. dan juga diketahui bahwa First Resources Group dilaporkan oleh PETIR sebagai pelaku kejahatan deforestasi, perusak lingkungan hidup, pengemplangan pajak triliunan dan terlibat skandal BPKSD, “Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) senilai Rp57 triliun” ke Kejaksaan Agung, “Kami meminta kepada bapak Presiden Prabowo Subianto arahkan pandangan Bapak kepada provinsi Riau ini, tidak sempurna hasil kerja Kejaksaan Agung jika tidak menindak kasus perusahaan koorporasi yang terjadi di provinsi Riau, “ungkap Ade Monchai dari Dewan Konsorsium Celoteh Riau
Sebelumnya, organisasi PETIR telah melaporkan perusahaan tersebut ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia atas dugaan pengemplangan pajak senilai Rp1,4 triliun dan keterlibatan dalam skandal Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) senilai Rp57 triliun, di mana First Resources Group diduga menerima alokasi sebesar Rp2,7 triliun.
Kebenaran adanya laporan itu dibenarkan oleh Jaksa Harley Siregar beberapa waktu lalu dan menyatakan bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan penyelidikan awal dan masih melakukan pendalaman atas laporan tersebut.
Namun di tengah proses itu, justru aktivis PETIR yang melaporkan kasus tersebut ditangkap oleh kepolisian dengan tuduhan melakukan pemerasan terhadap perusahaan yang dilaporkannya. Situasi ini menimbulkan ironi dan kecurigaan publik bahwa hukum di Riau tidak berjalan dengan semestinya, bahkan diduga berpihak kepada kepentingan pemilik modal.
Pengamat hukum di Riau Dr. Dedi Saputra, S.H., M.H., menilai langkah kepolisian tersebut perlu diuji secara yuridis.
โKetika laporan terhadap korporasi besar belum ditindaklanjuti, sementara pelapor justru ditangkap, itu menimbulkan dugaan ketimpangan hukum. Prinsip equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jelas tercederai,โ ujarnya.
Sejumlah pengamat hukum menilai, tindakan aparat kepolisian dalam kasus ini berpotensi melanggar sejumlah ketentuan hukum yang berlaku. Dari perspektif hukum tata negara, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Ketika aparat tampak tajam kepada rakyat kecil atau aktivis, tetapi tumpul terhadap pelaku pelanggaran besar dari kalangan korporasi, maka prinsip kesetaraan hukum telah dicederai.
Selain itu, tindakan kepolisian yang terkesan membiarkan dugaan pelanggaran besar oleh korporasi tanpa langkah hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal ini mengancam hukuman bagi setiap pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu demi kepentingan tertentu. Dalam konteks ini, jika aparat hukum terbukti secara sengaja mengabaikan laporan terhadap korporasi besar dan justru menekan pihak pelapor, maka terdapat unsur pelanggaran serius terhadap prinsip integritas dan keadilan.
โJika aparat sengaja mengabaikan laporan besar dan justru menekan pihak pelapor, maka bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan,โ tambahnya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian juga dengan jelas menegaskan bahwa tugas utama kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.
Netralitas dan profesionalitas menjadi prinsip dasar dalam menjalankan tugas tersebut. Ketika polisi diduga bertindak tidak proporsional dan berpihak pada kepentingan korporasi, maka mereka telah melanggar asas profesionalitas serta proporsionalitas dalam penegakan hukum.
Tak hanya itu, banyak pihak menduga bahwa penangkapan terhadap aktivis PETIR menunjukkan indikasi kriminalisasi. Aktivis yang menjalankan fungsi sosial untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dan pelanggaran lingkungan seharusnya mendapatkan perlindungan hukum, bukan penindasan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban melalui Pasal 41 memberikan hak perlindungan bagi siapa pun yang melaporkan dugaan tindak pidana korupsi atau kejahatan lain yang merugikan negara.
Lebih jauh lagi, Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menegaskan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
โKami punya dokumen laporan dan bukti pendukung. Kami juga siap membuka data dugaan pengemplangan pajak dan dana BPDPKS di hadapan publik. Yang seharusnya diperiksa adalah korporasi yang kami laporkan, bukan aktivis yang mencari keadilan,โ ujar Jakop perwakilan PETIR kepada media
Dengan demikian, jika benar aktivis PETIR ditangkap saat memperjuangkan keadilan lingkungan dan transparansi publik, maka tindakan tersebut patut diduga bertentangan dengan hukum.
Penangkapan aktivis PETIR oleh Polda Riau telah membuka kembali perdebatan lama tentang keberpihakan hukum di Indonesia. Banyak pihak menilai hukum di negeri ini masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketika korporasi besar diduga melakukan pelanggaran bernilai triliunan rupiah namun tidak tersentuh hukum, sementara aktivis yang mengungkap dugaan itu ditangkap, maka masyarakat patut bertanya: di mana keadilan berpihak?
Sejumlah pihak kini mendesak agar Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kepolisian Daerah Riau. Desakan itu mencakup permintaan untuk mencopot Kapolda Riau yang dinilai gagal menjalankan tugas secara profesional dan tidak mampu menjaga netralitas institusi kepolisian di daerahnya.
Masyarakat Riau menilai, tindakan aparat terhadap aktivis PETIR telah menimbulkan keresahan luas dan menciptakan ketakutan di tengah masyarakat. Banyak yang khawatir bahwa jika kriminalisasi terhadap aktivis seperti PETIR dibiarkan, hal serupa akan terus berulang, menimpa aktivis, jurnalis, dan masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah maupun perusahaan besar.
โKalau aktivis seperti PETIR bisa dijerat dengan pasal karet dengan dugaan pemerasan, siapa pun bisa menyusul. Ini bukan sekadar kasus hukum, tapi ancaman bagi kebebasan sipil,โ ujar Ricky Fathir
Kekhawatiran ini semakin kuat karena pasal-pasal yang digunakan terhadap aktivis kerap dianggap sebagai โpasal karetโ yang mudah disalahgunakan untuk membungkam suara kritis. Sejumlah pengamat hukum dan pegiat kebebasan sipil menyatakan bahwa praktik semacam ini merupakan bentuk kemunduran demokrasi dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.
Pemerhati lingkungan Riau, Nurhayati Zega, juga menyoroti sisi kemanusiaan dan dampak sosial dari kasus ini.
โKalau orang yang melaporkan pencemaran dan korupsi sawit justru ditangkap, maka masyarakat akan takut bicara. Ini menimbulkan efek jera bagi aktivis dan jurnalis. Ini berbahaya bagi demokrasi dan masa depan lingkungan kita,โ ujarnya.
Jika situasi ini terus berlanjut, masyarakat sipil akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum, dan rasa keadilan akan semakin terkikis dari ruang publik.
Keadilan sejati seharusnya tidak ditentukan oleh kekuatan modal, melainkan oleh nurani penegak hukum. Jika penegak hukum kehilangan keberanian untuk menindak pelanggaran besar dan justru menekan pihak yang berusaha mengungkap kebenaran, maka supremasi hukum telah berubah menjadi supremasi kepentingan.
Dalam konteks ini, publik mendesak agar Kejaksaan Agung dan institusi pengawas internal Polri turun langsung menyelidiki proses hukum kasus ini, memastikan tidak ada pelanggaran prosedur, serta membuka transparansi terhadap laporan dugaan pelanggaran pajak dan penyalahgunaan dana BPDPKS yang telah dilaporkan oleh PETIR.
Kasus ini bukan sekadar penangkapan seorang aktivis, tetapi menjadi cermin sejauh mana keadilan dan hukum masih berpihak pada kebenaran di negeri ini. Jika aparat hukum terus membiarkan pelanggaran korporasi besar tanpa tindakan tegas, maka publik akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum, dan hukum itu sendiri akan kehilangan maknanya sebagai instrumen keadilan dan hanya akan menjadi alat kekuasaan untuk menekan rakyat yang bersuara.
Hingga berita diturunkan belum ada klarifikasi dari pihak Polda Riau maupun Pihak Perusahaan, redaksi membuka lebar Hak Jawab bagi pihak pihak yang disebutkan dalam pemberitaan sesuai UUD PERS no 40 tahun 1999.

Tidak ada komentar