x
.

Ribuan Warga Pelalawan Menanti Janji Plasma: HGU Menggurita, Rakyat Terlunta

waktu baca 3 menit
Kamis, 30 Okt 2025 17:58

Mataxpost | PELALAWAN – Sore itu, aroma kopi hitam bercampur gundah di Kedai Yong Bengkalis. Di meja panjang, beberapa tokoh muda dan aktivis berbincang dengan nada tinggi-rendah. Mereka bukan sekadar berbagi keluh kesah, tetapi menumpahkan kemarahan yang sudah lama disimpan.(30/10)

Kabupaten Pelalawan, tanah subur di jantung Riau, kini menjadi saksi bisu dari ketimpangan yang menyesakkan. Lahan-lahan yang dulu menjadi cadangan sawah dan kebun rakyat kini berpagar tinggi dan berpelat korporasi.

Ribuan hektare tanah telah berubah status menjadi Hak Guna Usaha (HGU), sementara rakyat hanya bisa menunggu janji plasma yang tak kunjung nyata.

โ€œBukan hanya itu saja. Puluhan tahun perusahaan berdiri di kabupaten ini, mengambil alih ladang-ladang cadangan untuk anak cucu kami. Tapi kewajiban mereka CSR, hak plasma, dan hak-hak lain tak juga jelas,โ€ ujar Dedi, tokoh muda Kelurahan Pelalawan, dengan suara bergetar menahan emosi.

Di hadapannya, Dr. Elviriadi, pakar lingkungan hidup dan pengurus PP Muhammadiyah, tampak menatap jauh ke luar jendela. Ia menarik napas panjang, seolah tak percaya pada apa yang baru didengarnya.

โ€œAaaccchhโ€ฆ macam mane bisa gitu. Itu berarti mengangkangi aturan negara, mengkhianati kesepakatan izin kementerian, dan mencelakakan masyarakat tempatan. Beso kerje!โ€ ujarnya dengan logat Melayu yang kental, membuat suasana kedai mendadak hening.

Sejak awal berdirinya sejumlah perusahaan sawit besar di Pelalawan, masyarakat dijanjikan hak plasma pola kemitraan antara perusahaan dan rakyat. Dalam skemanya, rakyat mendapat bagian kebun yang dikelola bersama, sebagai bentuk keadilan dan pemerataan ekonomi.

Namun, janji itu kini tinggal cerita. Beberapa warga mengaku telah menunggu puluhan tahun, sementara perusahaan terus menanam, memanen, dan mengekspor hasilnya ke luar negeri.

โ€œYang kami dapat cuma debu dan air yang makin keruh,โ€ kata Adon, aktivis muda yang juga hadir di pertemuan itu.

โ€œPerusahaan itu hidup di atas tanah kami, tapi tidak hidup bersama kami.โ€tambahnya

Dr. Elviriadi menyebut apa yang terjadi di Pelalawan sebagai bentuk pembodohan sistemik. Menurutnya, lemahnya pengetahuan hukum dan organisasi di kalangan masyarakat membuat mereka mudah dipermainkan oleh korporasi.

โ€œKalau SDM, ilmu pengetahuan, dan jaringan tak ada, ya mudah saja masyarakat dikerjain. Itulah yang terjadi di Pelalawan dan Riau selama puluhan tahun,โ€ katanya tegas.

Ia berjanji akan kembali ke Pelalawan pekan depan, bukan sekadar berkunjung, tetapi untuk membangun kesadaran rakyat.

โ€œSaya akan didik anak muda Pelalawan dengan ilmu hukum, strategi, taktik, perang pemikiran, teknik intelijen sederhana, membangun narasi intelektual, dan solidaritas rakyat. Semua ilmu langka ini harus kita kembalikan ke rakyat,โ€ ujarnya mantap.

Menjelang senja, obrolan di kedai kopi itu berakhir dengan satu kesepakatan: rakyat tak boleh diam lagi. Pekik semangat menggema dari mulut para pemuda dan aktivis yang hadir.

โ€œKami masyarakat, pemuda, aktivis, dan insan pers Kabupaten Pelalawan siap menyambut Pak Dr. Elviriadi, sang penyelamat marwah negeri,โ€ ujar Adon dengan lantang.

Langit Pelalawan mulai memerah. Matahari perlahan tenggelam di balik kebun sawit yang luasnya seperti tak berujung. Di bawah cahaya senja itu, rakyat masih menunggu bukan sekadar janji plasma, tetapi keadilan, pengetahuan, dan hak atas tanah yang lama terampas.

(Penjuru.id)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x