x
.

Soft Influence dan Diplomasi Prabowo: Ditengah Rivalitas BRICS vs Barat

waktu baca 5 menit
Kamis, 30 Okt 2025 07:36

Mataxpost | Jakarta – Pujian bertubi-tubi dari Donald Trump kepada Presiden Prabowo Subianto di sela KTT Perdamaian Gaza 2025 di Sharm el-Sheikh bukan sekadar basa-basi diplomatik. (30/10)

Ditambah lagi, pernyataan mengejutkan Benjamin Netanyahu yang menyebut โ€œpidato Prabowo di PBB sebagai suara baru dari dunia Muslim moderatโ€ memberi sinyal bahwa dinamika hubungan antara Barat dan Indonesia tengah memasuki fase strategis yang baru.

Pertanyaannya: apakah ini sekadar diplomasi pragmatis, atau bagian dari gerakan pengaruh Barat/NATO untuk menempatkan Prabowo dalam orbit kepentingan mereka bahkan ketika Indonesia kini telah resmi menjadi anggota penuh BRICS (Blok Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan)?

Panggung Baru Prabowo di Dunia

Sepanjang 2025, Prabowo memainkan peran aktif di dua poros besar geopolitik: Barat dan BRICS.

Menurut laporan Sekretariat Kabinet RI, kehadiran Prabowo di KTT BRICS 2025 di Kazan menandai langkah resmi Indonesia sebagai anggota penuh blok tersebut sebuah pencapaian yang mempertegas orientasi multipolar Indonesia.

Namun, hanya beberapa bulan kemudian, ia juga tampil menonjol di KTT Perdamaian Gaza, yang dipimpin langsung oleh Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, dua tokoh yang mewakili kepentingan khas Barat.

Dalam forum itu, โ€œmomen mikrofon menyalaโ€ ketika Prabowo meminta pertemuan pribadi dengan Eric Trump menjadi viral, memperlihatkan lapisan hubungan personal yang jarang terekspos dalam hubungan antarpemimpin negara.

Sementara itu, BRICS berkembang menjadi arsitektur ekonomi dan politik tandingan terhadap dominasi Barat.

Menurut Third World Quarterly, BRICS bukan lagi sekadar forum ekonomi, melainkan โ€œporos ideologis Global Southโ€ yang menantang hegemoni institusi seperti G7 dan IMF.

Di sisi lain, NATO memperluas jangkauan pengaruhnya di Asia-Pasifik.

Dokumen strategis โ€œNATO Engagement in the Indo-Pacific?โ€ bahkan menyebut Indonesia sebagai โ€œpemain kunci non-anggotaโ€ yang perlu didekati melalui kerja sama keamanan non-tradisional dan pelibatan elit militer senior.

Apa yang Sebenarnya Sedang Terjadi?

Hipotesis A – Diplomasi Normal dengan Lapisan Transaksi Politik

Pujian Trump dan Netanyahu bisa dibaca sebagai sinyal goodwill untuk memperkuat kerja sama pragmatis.

Dalam geopolitik realis, kata-kata hangat sering menjadi alat membuka pintu negosiasi, investasi, atau dukungan politik.

Trump dikenal menggunakan personalitas pemimpin dunia untuk membangun โ€œdebt of gratitudeโ€ hubungan personal yang kemudian dikapitalisasi untuk kepentingan ekonomi, seperti kesepakatan di bidang resort, pertahanan, atau energi.

Kasus โ€œhot micโ€ dengan Eric Trump memperkuat pola ini.

Hipotesis B – Co-optation

Aktor Barat, terutama Amerika Serikat, menyadari bahwa mengubah arah Indonesia secara langsung hampir mustahil.

Namun, menggiring Prabowo agar โ€œramah Baratโ€ melalui pujian, kerja sama ekonomi, dan legitimasi internasional lebih mungkin dilakukan.

Ini bukan perekrutan ke BRICS, melainkan penjinakan pengaruh BRICS dari dalam dengan Prabowo sebagai jembatan yang menyeimbangkan kepentingan dua kubu besar dunia.

Hipotesis C – Operasi Bridge Diplomacy

Indonesia kini satu-satunya negara besar Muslim yang berada di BRICS dan memiliki hubungan strategis dengan Amerika, Eropa, dan China sekaligus.

Dalam konfigurasi ini, Prabowo tampil sebagai figur yang bisa diterima oleh tiga dunia: Barat, Islam, dan BRICS.

Barat kemungkinan melihat ini sebagai peluang emas mendekati Prabowo untuk memastikan BRICS tidak berubah menjadi blok anti-Barat murni.

Dengan kata lain, bukan menarik Prabowo ke BRICS, tetapi memastikan BRICS tidak menarik Prabowo menjauh.

Ekonomi, Keamanan, dan Legitimasi sebagai Motif

Motif Ekonomi

Indonesia dengan pasar 280 juta jiwa dan cadangan nikel terbesar dunia menjadi incaran semua blok ekonomi.

Trump, dengan pendekatan dealmaking, melihat hubungan personal dengan Prabowo sebagai pintu masuk investasi baru termasuk di sektor energi dan properti.

Motif Keamanan

Barat membutuhkan mitra di Asia Tenggara untuk menyeimbangkan pengaruh Beijing dan Moskow.

Kajian Lee & Schreer (Asia-Pacific Regional Security Assessment 2022) menyebut Indonesia sebagai target penting untuk kerja sama pelatihan, maritim, dan kontra-terorisme.

Prabowo mendapatkan pengakuan internasional yang memperkuat posisi domestiknya.

Sementara Barat memperoleh figur yang bisa memediasi isu global seperti Palestina-Israel tanpa harus berhadapan langsung dengan sentimen anti-Barat.

Data terbuka belum menunjukkan bukti kuat bahwa NATO atau Barat menjalankan operasi sistematis untuk โ€œmenarik Prabowo ke dalam BRICSโ€.

Yang terlihat justru adalah upaya menjaga saluran komunikasi dan pengaruh di tengah pergeseran geopolitik multipolar.

Menurut laporan Bloomberg (7 Januari 2025), Indonesia telah menjadi anggota penuh BRICS dengan komitmen menjaga keseimbangan global, bukan perlawanan terhadap Barat.

Prabowo tampaknya memainkan strategi nonblok abad ke-21 realistis, oportunis, dan berbasis perdamaian.

Kemungkinan terbesar bukan kooptasi langsung, melainkan โ€œsoft influence operationโ€: upaya halus membangun hubungan personal, ekonomi, dan diplomatik agar kebijakan Indonesia tetap terbuka terhadap kepentingan Barat.

Apa yang Harus Diamati Selanjutnya?

Untuk menilai arah pengaruh terhadap Presiden Prabowo, analis perlu memantau beberapa indikator penting:

Frekuensi pertemuan bilateral Prabowo dengan tokoh Barat, terutama di luar forum multilateral.

Investasi besar dari perusahaan yang berafiliasi dengan kekuatan politik Barat di sektor strategis (energi, pertahanan, infrastruktur).

Perjanjian kerja sama militer, pertahanan siber, atau intelijen, yang bisa membuka kanal pengaruh keamanan.

Narasi media yang menonjolkan Prabowo sebagai โ€œpenentu masa depan BRICSโ€, yang bisa mengindikasikan strategi soft power terkoordinasi.

Perubahan posisi diplomatik Indonesia di forum internasional, terutama bila mulai selaras dengan kepentingan Barat tanpa justifikasi domestik yang kuat.

Relasi bisnis lintas elite antara lingkaran Prabowo dan figur politik Barat, yang bisa menjadi kanal pengaruh finansial dan personal.

Antara Diplomasi dan Perang Pengaruh

Gerak Barat terhadap Prabowo bukanlah skenario perekrutan ala Perang Dingin, melainkan diplomasi cerdas berbasis pengaruh personal dan ekonomi.

Barat tampaknya sadar bahwa menghadapi BRICS secara frontal tidak produktif.

Sebaliknya, mendekati figur moderat seperti Prabowo memberi pengaruh yang lebih halus namun efektif.

Namun, Prabowo dengan latar militer dan nasionalismenya tampak memahami permainan ini.

Ia menjaga jarak strategis, menampilkan diri sebagai mediator global, dan memperkuat citra Indonesia sebagai kekuatan independen yang bisa berbicara dengan semua pihak.

Dengan demikian, โ€œpenarikan Prabowo ke BRICSโ€ bisa dibaca sebagai strategi balik: menjadikan dirinya poros diplomasi baru yang menyeimbangkan Barat dan Timur โ€” bukan tunduk pada salah satunya.

Referensi

Cooper, Andrew F. (2021). China, India and the pattern of G20/BRICS engagement: Differentiated ambivalence between โ€˜risingโ€™ power status and solidarity with the Global South. Third World Quarterly, 42(9): 1945โ€“62.

Nye, Joseph S. (2019). Soft power and public diplomacy revisited. The Hague Journal of Diplomacy, 14(1โ€“2): 7โ€“20.

Panda, Jagannath & Ghiasy, Richard. (2025). NATO Engagement in the Indo-Pacific? Notes.

Profil Penulis

Ruben Cornelius Siagian adalah peneliti dan penulis opini aktif yang fokus pada fisika komputasi, astronomi, energi, kebijakan publik, dan isu sosial-politik di Indonesia.

Ia pendiri Riset Center Cendekiawan dan Peneliti Muda Indonesia, serta aktif dalam organisasi mahasiswa dan advokasi demokrasi.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x