
.


Mataxpost.com | Pekanbaru,- Penonaktifan Kepala Sekolah SMK Negeri 3 Pekanbaru, Mairustuti, pada 29 Oktober 2025, menimbulkan tanda tanya besar. Di permukaan, langkah Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau tampak seperti tindakan administratif untuk menegakkan disiplin. Namun, rangkaian fakta di lapangan menunjukkan dugaan kuat adanya permainan kekuasaan, kolusi, dan kepentingan politik di balik keputusan tersebut. (31/10)
Surat Keputusan Bebas Tugas Nomor KPTS.1092/2025 yang diteken langsung oleh Kepala Disdik, Erisman Yahya, diterbitkan bertepatanย Disdik mengumumkan pembentukan panitia seleksi 488 calon kepala SMA, SMK, dan SLB se-Riau.

Dua momentum besar ini berlangsung hampir bersamaan, sehingga banyak pihak menilai penonaktifan Mairustuti bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari skenario yang telah disiapkan.
Akar persoalan bermula dari tuduhan pungutan liar (pungli) dan arogansi kepala sekolah terhadap guru-gurunya. Dugaan itu pertama kali dimuat oleh detiksumut pada 30 Oktober 2025, berdasarkan laporan sejumlah guru kepada Gubernur Riau, Abdul Wahid.
Laporan para guru menurut keterangan yang diampaikan oleh Erisman Yahya di beberapa media loakl, menuding adanya pungutan dari dana sertifikasi dan meminta tindakan tegas.
Gubernur Abdul Wahid kemudian merespons cepat dan memerintahkan Disdik untuk melakukan pengecekan serta menggelar assessment terhadap seluruh kepala sekolah di Riau pernyataan yang dikutip tanggal 30/10/2025 dari detik.com dan diikuti pemberitaan oleh media online lainnya.
Namun, hasil penelusuran tim investigasi Xpost di lapangan menunjukkan bahwa tuduhan tersebut tidak sepenuhnya benar. Tidak ada bukti maupun saksi yang berikan keterangan lansung.
Kasus serupa ternyata pernah mencuat pada Juli 2024, tetapi tak pernah ditindaklanjuti secara hukum. Dan diberbagai media Mairustuti juga membantah keras adanya pungli.
“Ia menjelaskan bahwa uang Rp100 ribu yang disebut dalam laporan adalah hasil kesepakatan bersama para guru untuk kegiatan internal sekolah, tanpa paksaan atau pemotongan dari sertifikasi,”ungkapnyaย seperti dikutip dari RRI.co
Menariknya, isu ini pernah muncul pada tahun 2024 yang lalu, tapi hari ini, isu lama tersebut kembali diangkat bersamaan dengan munculnya tudingan pungli dan arogansi dibalik pengadaan seragam siswa baru oleh Komite Sekolah SMK 3 Pekanbaru
Pada 29 Oktober 2025, Forum Wartawan Pendidikan (Forwadik) Riau melakukan investigasi ke SMK Negeri 3 dan menemukan spanduk pengadaan seragam dengan dua nama penjahit serta dua harga berbeda. Berita itu menuding kepala sekolah terlibat dalam pengadaan seragam, namun tidak satupun keterangan maupun bukti yang mengarah kepada Kepsek.
Sebaliknya hasil penelusuran justru menemukan bahwa spanduk tersebut dibuat oleh Komite Sekolah tanpa sepengetahuan kepala sekolah dan disertai pengakuan serta penjelasan mengenai pengadaan seragam sekolah tersebut.
Dalam pemberitaan seribuparitnews.com, pihak Komite bahkan mengakui bahwa mereka bekerja sama langsung dengan penjahit dan menetapkan harga sendiri, tanpa melibatkan sekolah.
Lebih lanjut, Mairustuti menegaskan bahwa sekolah menyerahkan sepenuhnya pengadaan seragam kepada orang tua siswa dan tidak pernah memerintahkan pembelian melalui Komite.
Sikap ini justru sesuai dengan Permendikbud No. 75 Tahun 2016, yang menegaskan bahwa Komite Sekolah hanya berperan memberi pertimbangan dan dukungan moral, bukan sebagai pelaksana operasional. Lalu kenapa Gubernur Abdul Wahid dan Disdik Riau Erisman Yahya menonaktifkan Kepsek SMK 3?.
Sumber internal menyebut bahwa keputusan Mairustuti menyerahkan pengadaan seragam kepada orang tua siswa inilah yang memicu konflik. Langkah tersebut dianggap mengganggu skema keuntungan yang selama ini diatur oleh Komite Sekolah. Dari sinilah dugaan permainan mulai terlihat.
Dalam rapat Komite Sekolah bersama pihak sekolah pada 25 Oktober 2025, muncul sosok anggota Komite berinisial YEN, yang disebut memiliki kedekatan dengan partai politik pengusung Gubernur Abdul Wahid dan tercatat sebagai anggota FSPKSI Riau. YEN diketahui membawa teman bernama Ed dan Alex Cb ke dalam rapat yang seharusnya cuma dihadiri oleh internal sekolah dan komite.
Untuk diketahui Alex Cb adalah oknum jurnalis, pemilik media online, sekaligus bendahara di LSM Federasi Serikat Pendidikan Seluruh Indonesia. Dari informasi yang diperoleh, Alex Cb bahkan mengancam akan melibatkan organisasi FSKPSI ke sekolah jika proyek pengadaan seragam tidak diserahkan kepada Komite.
Diduga, oknum Komite dan LSM melaporkan permasalahan yang mereka hadapi kepada Dinas Pendidikan (Disdik) Riau dan Gubernur Riau. Atas laporan tersebut kemungkinan besar, telah terjadi kesepakatan antara pihak Komite, LSM, dan Disdik Riau, atau bisa juga ada petunjuk langsung dari Gubernur Riau, Abdul Wahid.
Sebagai hasilnya, muncul isu yang bertujuan agar ketika Disdik Riau mencopot kepala sekolah, langkah tersebut tidak melanggar aturan yang berlaku, tudingan ini masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Mengenai laporan guru yang dijadikan dasar oleh Disdik Riau dalam menonaktifkan Mairustuti diduga hanyalah kedok dari aduan yang sebenarnya berasal dari LSM dan oknum komite.
Keputusan tersebut diambil secara tergesa tanpa melalui pemeriksaan awal, tanpa proses klarifikasi, dan tanpa disertai bukti yang sah.
Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin ASN, penonaktifan hanya dapat dilakukan jika telah ditemukan bukti kuat melalui proses pemeriksaan yang adil.
Dalam kasus ini, keputusan terbit terlebih dahulu sebelum proses pembuktian dilakukan, Tim Xpost juga menemukan bahwa laporan investigasi Forwadik yang dirilis pada pagi hari 30 Oktober 2025 justru menguatkan asumsi dan dugaan tim xpost, serta tidak satu pun guru di SMK 3 yang mengaku ada pungutan saat ditemui tim media,
โGaji kami saja belum cair, masa harus ada pungutan? Lebih baik uangnya buat beli beras,โ ujar seorang guru yang enggan disebutkan namanya.
Fakta ini memperkuat dugaan bahwa tuduhan pungli hanyalah alat politik untuk menyingkirkan kepala sekolah. Dan diduga untuk menutupi bagian akar masalah tentang pengadaan seragam sekolah yang ingin dikuasai oleh komite sekolah, isu ini seharusnya diketahui publik agar masyarakat dapat menilai mana yang benar dan mana yang salah.
Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa penyalahgunaan wewenang terjadi ketika pejabat melampaui kewenangannya atau bertindak sewenang-wenang. Penonaktifan Mairustuti tanpa proses verifikasi jelas melanggar prinsip tersebut.
Lebih jauh lagi, langkah Disdik Riau ini dilakukan berdekatan dengan seleksi jabatan kepala sekolah di seluruh Riau yang diucapkan pada tanggal 29 Oktober 2025, indikasi kuat bahwa ada motif politik dan pengaturan posisi di baliknya.
Tim Xpost mendesak aparat penegak hukum dan pihak berwenang untuk menyelidiki dugaan kolusi dan penyalahgunaan wewenang antara Komite Sekolah, LSM dan Disdik Riau.
Kasus ini berpotensi melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena menyangkut penyalahgunaan jabatan demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Audit menyeluruh diperlukan untuk memastikan tidak ada aliran dana gratifikasi maupun fee proyek dalam pengadaan seragam sekolah.
Selain itu, perlu diusut tuntas akar permasalahan terkait tudingan yang dianggap menyesatkan publik atas dugaan laporan palsu dari oknum komite dan LSM, yang disamarkan dengan dalih laporan dari para guru.
Rangkaian fakta ini menunjukkan bahwa penonaktifan Mairustuti bukanlah cermin penegakan disiplin, melainkan akibat dari konflik kepentingan antara pejabat, komite, dan kepentingan politik tertentu.
Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembinaan justru berubah menjadi arena permainan kekuasaan dan keuntungan pribadi.
Kini publik menanti: apakah Disdik Riau berani membuka kebenaran secara transparan, atau justru terus berlindung di balik retorika โpenegakan disiplinโ yang semakin sulit dipercaya.
Yang pasti, para guru dan masyarakat berhak mendapatkan kejelasan, karena keadilan di dunia pendidikan adalah fondasi kepercayaan publik yang tidak boleh dikorbankan.
Menanggapi tudingan keterlibatannya dalam persoalan pengadaan seragam, Alex Coboy membantah keras hal tersebut.
โTidak seperti itu. Pihak FSPKSI justru diminta oleh Komite Sekolah untuk menjadi penengah dalam persoalan itu. Saya sama sekali tidak pernah menyatakan bahwa pihak sekolah harus menyerahkan pengadaan baju sekolah kepada Komite,โ ujar Alex.
Ia menegaskan bahwa informasi yang menyebut dirinya ikut menekan pihak sekolah adalah tidak benar.
Di sisi lain, sejumlah pihak menilai persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ombudsman Riau ,PGRI dan Dewan Pendidikan Provinsi Riau diminta turun tangan untuk menelaah kasus ini secara objektif dan independen.
Dugaan pelanggaran prosedur, penyalahgunaan wewenang, serta potensi konflik kepentingan antara Komite Sekolah dan Dinas Pendidikan harus diselidiki secara menyeluruh agar tidak mencederai integritas dunia pendidikan di Riau.
Sementara itu, Gubernur Riau Abdul Wahid dan Kepala Dinas Pendidikan Erisman Yahya hingga kini memilih bungkam. Keduanya belum memberikan tanggapan resmi terkait dugaan kolusi dan penyalahgunaan kewenangan dalam penonaktifan Kepala Sekolah SMK Negeri 3 Pekanbaru.
Sikap diam ini justru semakin memperkuat spekulasi publik bahwa ada sesuatu yang tengah disembunyikan di balik keputusan tersebut.
























.


Tidak ada komentar