
.


Mataxpost | Pekanbaru, – Janji politik Gubernur Riau Abdul Wahid โ SF Haryanto untuk memberikan seragam sekolah gratis bagi seluruh siswa di Riau kini terbukti hanyalah ilusi politik. Program yang semula diklaim sebagai bentuk kepedulian terhadap dunia pendidikan itu tidak pernah terealisasi. Alih-alih meringankan beban masyarakat, biaya pengadaan seragam justru tetap dibebankan kepada murid dan orang tua. (01/11)

Rapat antara Komite Sekolah,dan Kepsek SMK 3 dan dihadiri oleh LSM FSKPSI
Kegagalan merealisasikan janji tersebut bahkan menimbulkan masalah baru yang lebih serius. Salah satu contoh paling nyata terjadi di SMK Negeri 3 Pekanbaru, di mana Kepala Sekolah Mairustuti justru menjadi korban permainan birokrasi setelah menolak keterlibatan Komite Sekolah dalam proyek pengadaan seragam siswa.

Mairustuti memilih menyerahkan pengadaan seragam kepada wali murid secara mandiri, agar terhindar dari praktik monopoli dan permainan harga yang kerap dilakukan oleh Komite. Keputusan itu ternyata memicu kemarahan pihak Komite Sekolah yang merasa kehilangan kendali atas potensi keuntungan dari proyek seragam.
Komite Sekolah kemudian menggandeng LSM Federasi Serikat Pendidikan Indonesia (FSPKSI) Provinsi Riau untuk melaporkan Mairustuti dengan tudingan pungli dan arogansi. Padahal, sesuai Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, Komite Sekolah tidak memiliki kewenangan mengatur urusan operasional sekolah, apalagi pengadaan barang atau jasa.
Fakta lapangan menunjukkan tudingan terhadap kepsek tersebut belum terbukti. Sumber internal FSPKSI bahkan mengakui, konflik muncul karena Komite tidak mendapat bagian dalam pengadaan seragam yang sebelumnya diserahkan kepada orang tua siswa.
Ironisnya, Dinas Pendidikan Riau (Disdik) di bawah kepemimpinan Erisman Yahya tidak menindak pelanggaran yang dilakukan Komite Sekolah dan LSM tersebut. Sebaliknya, Gubernur Abdul Wahid bersama Kadisdik Erisman Yahya justru menjatuhkan sanksi kepada Mairustuti dengan menonaktifkannya dari jabatan kepala sekolah pada 29 Oktober 2025. Langkah ini dinilai tidak profesional, sarat kepentingan, dan melanggar prinsip keadilan administratif.
Lebih mengejutkan lagi, sehari setelah penonaktifan itu, yakni pada Jumat, 31 Oktober 2025, Komite Sekolah SMKN 3 Pekanbaru menggelar rapat dan memutuskan bahwa pengadaan seragam sekolah kini sepenuhnya dipegang oleh Komite.
Keputusan ini semakin memperkuat dugaan bahwa penonaktifan kepala sekolah memang bermotif ekonomi. Dengan posisi Mairustuti yang sudah dinonaktifkan, Komite kembali menguasai proyek seragam yang sebelumnya sempat dihentikan.
Salah seorang orang tua murid SMK Negeri 3 Pekanbaru, yang enggan disebutkan namanya, menilai keputusan penonaktifan Kepala Sekolah Mairustuti sangat tidak adil.
Ia mengaku bahwa selama ini kepala sekolah sudah bersikap transparan dan menyerahkan urusan seragam sepenuhnya kepada wali murid tanpa ada paksaan atau pungutan dari pihak sekolah.
โBu Kepsek sudah jelas bilang, silakan kami orang tua yang menjahit seragam anak masing-masing, biar bebas dan tidak ada yang merasa terbebani. Tapi sekarang kenapa malah Komite Sekolah yang mau menguasai pengadaan seragam itu? Kami heran, apa urusan Komite mengatur sampai ke situ? Bukannya tugas mereka hanya mendukung kegiatan sekolah, bukan mencari keuntungan,โ ujarnya dengan nada kecewa.
Orang tua murid lainnya juga menyayangkan sikap Dinas Pendidikan Riau dan Gubernur yang justru menonaktifkan kepala sekolah yang dinilai jujur dan berpihak kepada siswa.
โKalau semua kepala sekolah seperti Bu Mairustuti, orang tua tidak akan berat. Tapi malah beliau yang kena masalah. Kami sebagai wali murid sangat kecewa, karena yang berjuang supaya tidak ada beban tambahan justru disingkirkan,โ tambahnya.
Redaksi juga memperoleh informasi dari berbagai sumber bahwa praktik serupa terjadi di banyak sekolah di Provinsi Riau, di mana pengadaan seragam dikelola langsung oleh Komite Sekolah. Sistem seperti ini jelas melanggar hukum dan peraturan pemerintah.
Karena Komite hanya memiliki fungsi memberi pertimbangan, dukungan moral, dan pengawasan, bukan sebagai pelaksana teknis atau pihak yang mengelola keuangan sekolah. Namun fakta di lapangan menunjukkan, Disdik Riau seolah menutup mata terhadap pelanggaran tersebut.
Laporan sepihak dari Komite dan LSM FSPKSI inilah yang dijadikan dasar penonaktifan Mairustuti tanpa pemeriksaan pendahuluan. Langkah tersebut bertentangan dengan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin ASN dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mensyaratkan pemeriksaan objektif sebelum menjatuhkan sanksi. Keputusan mendadak tanpa dasar hukum kuat ini menegaskan bahwa proses administrasi di Disdik Riau telah kehilangan integritas.
Tudingan terhadap Mairustuti juga bukan hal baru. Tahun sebelumnya, isu serupa pernah dihembuskan soal pungutan dana Rp100 ribu dari guru penerima sertifikasi. Padahal, dana tersebut merupakan hasil kesepakatan seluruh guru untuk kegiatan internal sekolah.
Isu lama ini kembali dihidupkan bertepatan dengan seleksi 488 calon kepala sekolah di Riau pada akhir Oktober 2025, hanya sekedar alibi dan memunculkan dugaan bahwa penonaktifan Mairustuti dimanfaatkan sebagai bagian dari manuver politik birokrasi untuk mengamankan posisi tertentu.
Sejak ditunjuk oleh Gubernur Abdul Wahid, Kepala Dinas Pendidikan Riau Erisman Yahya dinilai gagal memperbaiki sistem pendidikan di provinsi ini. Di bawah kepemimpinannya, Disdik Riau semakin ambruk dan rusak.
Berbagai dugaan penyimpangan terus mencuat ke publik mulai dari skandal SMU Plus Riau, Sekolah Olahraga Riau, hingga masalah keterlambatan pembayaran gaji dan TPP guru serta ASN yang belum cair hingga November 2025. Pemerintah provinsi berdalih alasan administratif, namun para tenaga pendidik menilai penundaan itu tidak masuk akal dan memperlihatkan lemahnya tata kelola keuangan daerah.
Janji kampanye Abdul Wahid untuk memberikan seragam gratis bagi siswa Riau kini terbukti hanya retorika kosong. Tidak ada satu pun siswa yang menerima seragam gratis sebagaimana dijanjikan. Sebaliknya, beban tetap ditanggung orang tua murid. Ketika kepala sekolah berupaya menegakkan aturan dan menyerahkan pengadaan secara mandiri, justru ia dijatuhi hukuman.
Keputusan yang memalukan ini memperlihatkan bahwa pemerintah daerah lebih berpihak kepada kelompok berkepentingan ketimbang menegakkan aturan dan kebenaran.
Kasus SMK Negeri 3 Pekanbaru menjadi simbol kehancuran moral birokrasi pendidikan di bawah kepemimpinan Abdul Wahid dan Kadisdik Erisman Yahya. Kebijakan yang bias kepentingan, lemahnya penegakan aturan, serta pelanggaran terhadap prinsip transparansi telah menjerumuskan dunia pendidikan Riau ke titik terendah.
Bila aparat hukum tidak segera bertindak, maka sistem pendidikan Riau akan terus dirusak oleh praktik kolusi, monopoli, dan penyalahgunaan wewenang.
Publik kini menilai bahwa Gubernur Abdul Wahid telah gagal mengemban amanah, dan Kadisdik Erisman Yahya dianggap tidak mampu menjaga integritas institusinya. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembinaan moral justru berubah menjadi ladang kepentingan ekonomi dan kekuasaan.
Hingga berita ini diturunkan, baik Gubernur Riau Abdul Wahid maupun Kepala Dinas Pendidikan Riau Erisman Yahya saat dimintai konfirmasi oleh redaksi memilih bungkam.
























.


Tidak ada komentar