x
.

Jeritan Guru dan Honorer Pemprov Riau: Bekerja dan Mengajar di Tengah Perut Lapar dan Janji Kosong Pemprov

waktu baca 4 menit
Sabtu, 1 Nov 2025 17:52

Mataxpost | Pekanbaru,- Keterlambatan pembayaran gaji dan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi guru serta tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau kembali menjadi sorotan publik. Hingga awal November 2025, keluhan para guru membanjiri media sosial. Sebagian belum menerima gaji selama empat bulan, sebagian lain menunggu TPP yang tak kunjung cair.

Keluhan itu datang dari berbagai daerah di Riau. Akun @essoklattt menulis, โ€œRSJ Tampan aja udah tiga bulan gak cair-cair TPP kami, mba.โ€ Sementara @yanthyp@n3 menimpali, โ€œJangankan TPP, gaji aja belum cair.โ€ Seorang guru lainnya, @Tania Afrillia, mengungkapkan penyebab yang ia dengar, โ€œKarena BOSDA tahap 2 belum cair. Yang Meiโ€“Juli aja baru dibayar beberapa hari lalu. Gini amat hidup di negeri kaya, rakyat menderita.โ€ungkap akun tersebut

Keluhan senada datang dari akun @DwiSulistiono#044 yang menulis, โ€œUdah tanggal 1 November 2025, lagi nunggu TPP untuk guru apakah cair atau membeku juga…โ€ Sementara @Boru Pasaribu Suku Caniago menegaskan, โ€œKami honor provinsi Riau sudah 4 bulan belum gajian.โ€

Keterlambatan itu juga disorot oleh @arif gunawan yang meluapkan frustrasinya, โ€œBalik kembali ke zaman imperialis. Kerja mesti disiplin, giliran gaji molor.

Nasib ASN Pemprov Riau sungguh tragis.โ€ Bahkan @Sustari Putri mengaku, โ€œGaji tahun 2024 pun ada dua bulan belum dibayar.โ€

Keluhan yang paling keras datang dari @Futsal Gaol, โ€œTolong jaksa segera periksa Dinas Pendidikan yang baru ini.โ€

Keluhan para guru dan honorer di Riau ini sudah seperti koor paduan suara yang nadanya sama: โ€œbelum cair, belum cair, belum cairโ€ฆโ€ hanya saja tidak ada iringan musik, cuma bunyi perut lapar dan tagihan listrik.

Kalimat seperti โ€œudah 4 bulan belum gajianโ€ dan โ€œTPP membeku jugaโ€ bukan cuma keluhan ringan; itu sinyal darurat.

Di birokrasi, istilah belum cair bisa berarti banyak hal dari urusan administrasi yang tersendat, anggaran yang belum disahkan, sampai proses verifikasi berlapis di Dinas Pendidikan dan BPKAD.

Tapi empat bulan tanpa gaji? Itu bukan sekadar โ€œketerlambatan teknisโ€, itu sudah pelanggaran rasa kemanusiaan dasar.

Lucunya (kalau bisa disebut lucu), para guru tetap diminta profesional, hadir tepat waktu, isi e-learning, dan kejar target kurikulum. Padahal mereka bahkan harus mengajar sambil berutang di warung.

Fenomena ini memperlihatkan masalah yang jauh lebih dalam dari sekadar keterlambatan teknis.

Ia menyingkap ketidakteraturan sistem keuangan daerah, lemahnya akuntabilitas birokrasi, dan minimnya empati DPRD Riau dan pemerintah terhadap tenaga pendidik yang menjadi tulang punggung layanan publik.

Sumber utama gaji ASN dan honor guru berasal dari APBD dan dana transfer pusat seperti DAU serta BOSDA. Keterlambatan pencairan BOSDA tahap dua, sebagaimana disinggung oleh para guru, menunjukkan adanya persoalan dalam penyaluran dan pelaporan keuangan.

Ketika laporan penggunaan anggaran sebelumnya belum disahkan, pencairan tahap berikutnya otomatis tertunda. Namun, keterlambatan empat bulan bukan lagi masalah administrasi rutin itu bukti lemahnya manajemen kas Pemprov Riau.

Bukti di lapangan menunjukkan bahwa proses pencairan terganjal di tingkat internal dinas, baik di Dinas Pendidikan maupun Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah.

Dalam praktiknya, penundaan bisa terjadi karena belum terbitnya surat perintah pencairan dana, kendati dokumen pembayaran telah selesai.

Ini menandakan adanya potensi maladministrasi prosedur berjalan di atas kertas, tetapi dana tetap macet di kas daerah.

Empat bulan tanpa gaji bagi tenaga honorer melanggar prinsip keadilan administratif dan etika pelayanan publik. Pemerintah yang menuntut disiplin kerja dari pegawai tidak boleh mengabaikan kewajiban membayar hak mereka.

Keterlambatan gaji dan TPP juga membawa dampak sosial dan psikologis. Guru tetap diwajibkan hadir, mengajar, dan memenuhi target pembelajaran, padahal banyak di antara mereka hidup dari gaji bulanan.

Kondisi ini menimbulkan tekanan ekonomi dan kelelahan moral yang berpotensi menurunkan motivasi serta kualitas pendidikan. Mustahil mengharapkan kinerja optimal dari pendidik yang hak dasarnya diabaikan.

Beberapa keluhan publik menyinggung โ€œdinas pendidikan yang baru,โ€ mengindikasikan adanya pergantian pejabat atau restrukturisasi birokrasi.

Dalam masa transisi semacam itu, verifikasi ulang data dan evaluasi keuangan kerap menyebabkan keterlambatan pencairan.

Namun, langkah administratif tidak seharusnya mengorbankan ribuan guru dan honorer yang menggantungkan hidup pada gaji bulanan.

Seruan agar kejaksaan memeriksa Dinas Pendidikan Riau menunjukkan turunnya kepercayaan publik terhadap birokrasi daerah. Dana BOSDA dan TPP adalah belanja wajib dan bersumber dari uang negara.

Jika ditemukan penundaan tanpa dasar hukum atau penyimpangan prosedur, aparat penegak hukum wajib menelusuri dugaan pelanggaran terhadap undang-undang keuangan negara.

Keterlambatan gaji dan TPP di Riau bukan hanya masalah kas, melainkan cermin dari buruknya tata kelola keuangan daerah dan lemahnya manajemen birokrasi dan tidak ada keperdulian DPRD Riau akan nasib mereka.

Pemerintah daerah seharusnya menjadikan kesejahteraan tenaga pendidik sebagai prioritas mutlak, bukan korban dari kesalahan perencanaan dan politik anggaran.

Jika Pemprov Riau tidak segera melakukan koreksi sistemik dari perencanaan kas, evaluasi belanja wajib, hingga transparansi publik krisis kepercayaan ini akan menjadi preseden buruk bagi manajemen pemerintahan daerah di Indonesia.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x