Mataxpost | Pekanbaru,- Polemik ganti rugi lahan warga dalam proyek pembangunan Stadion Utama Riau dan Flyover SKA di Pekanbaru kembali mencuat. Sejumlah pemilik tanah mengaku belum menerima pembayaran meskipun lahan mereka telah digunakan sejak 2011 (08/12).
Sengketa tidak hanya terjadi di area stadion, tetapi juga di sepanjang koridor Jalan SoekarnoโHatta, dari Simpang Arifin Ahmad hingga ke arah Jalan Riau.
Warga mengaku telah berulang kali melayangkan surat kepada instansi terkait, namun belum mendapatkan kepastian penyelesaian.
Sengketa paling menonjol terjadi di atas lahan seluas sekitar 12 hektare di Kecamatan Tampan, sekitar kawasan Universitas Riau dan Stadion Utama. Lahan tersebut diketahui milik warga dan sebagian kecil milik PT Hasrat Tata Jaya.
Dalam perkara sebelumnya terkait lahan seluas 2,5 hektare, pemilik lahan telah memenangkan sengketa melalui putusan Mahkamah Agung, dengan amar putusan yang mewajibkan Pemerintah Provinsi Riau membayar ganti rugi sekitar Rp34 miliar.
Sementara untuk lahan seluas 12 hektare, hingga saat ini belum ada penyelesaian dari Pemerintah Provinsi Riau. Warga menyebut, jika dihitung dengan nilai tanah saat ini, potensi kerugian mencapai sekitar Rp389 miliar, ditambah lahan untuk kepentingan Flyover Mal SKA yang diperkirakan mencapai sekitar Rp105 miliar.
Perhitungan warga menyebut nilai tanah berada pada kisaran puluhan juta rupiah per meter persegi, dengan estimasi ganti rugi per bidang sertifikat hak milik (SHM) mencapai puluhan juta rupiah.
Namun hingga kini, belum ada realisasi pembayaran di lapangan.
โKami ini bukan minta belas kasihan. Tanah kami dipakai negara, tapi hak kami tidak kunjung dibayar. Sudah lebih dari sepuluh tahun kami menunggu,โ ujar salah seorang warga terdampak yang meminta namanya dirahasiakan.
Dalam perkara pengadaan lahan untuk proyek Flyover SKA, struktur pertanggungjawaban berada di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Sejumlah sumber menyebut, pejabat yang saat itu menduduki posisi strategis di birokrasi, termasuk Sekretaris Daerah Provinsi Riau, memiliki peran koordinatif dalam proses kebijakan.
Nama S.f. Haryanto turut tercatat sebagai salah satu pejabat kunci pada periode tersebut, sehingga perannya dinilai perlu ditelusuri lebih lanjut oleh aparat penegak hukum.
Kasus ini berkaitan langsung dengan proyek raksasa persiapan PON XVIII Riau 2012. Saat itu, proyek stadion dan infrastruktur pendukung dijalankan di tengah kondisi anggaran yang tidak mencukupi.
Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau saat itu, Lukman Abbas, melaporkan bahwa anggaran dalam Perda Nomor 5 Tahun 2008 tidak mampu menutup nilai kontrak pembangunan stadion utama yang mencapai sekitar Rp290 miliar.
Gubernur Riau ketika itu, Rusli Zainal, kemudian menugaskan Lukman Abbas untuk mengurus tambahan anggaran ke pemerintah pusat.
Dalam proses tersebut, Lukman Abbas bersama Kepala Dinas PU Riau saat itu, S.F. Haryanto (kini pernah menjabat sebagai Plt Gubernur Riau), menyusun usulan tambahan dana yang kemudian dibawa ke DPR RI.
Dalam fakta persidangan yang terungkap ke publik, proses lobi anggaran ini diduga melibatkan permintaan dana tidak resmi oleh oknum anggota legislatif pusat, yang kemudian dipenuhi melalui pengumpulan dana dari kontraktor pelaksana proyek.
Sejumlah perusahaan BUMN, yakni PT Adhi Karya, PT Wijaya Karya, dan PT Pembangunan Perumahan, tercatat sebagai pelaksana proyek.
Dana dalam bentuk valuta asing disebut disalurkan dalam beberapa tahap kepada pihak-pihak tertentu untuk mempercepat persetujuan anggaran.
Dalam perkembangan lain, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Rusli Zainal sebagai tersangka dalam perkara korupsi terkait perubahan Perda Provinsi Riau Nomor 6 Tahun 2010 tentang pendanaan pembangunan venue PON.
Penyidikan juga menyeret sedikitnya 13 tersangka lain, sebagian besar anggota DPRD Riau, dan sejumlah di antaranya telah divonis pidana.
Sementara itu, berdasarkan keterangan warga, Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian ATR/BPN telah memerintahkan agar pembayaran ganti rugi, yang kini menggunakan skema โganti untungโ, segera direalisasikan kepada seluruh pemilik lahan terdampak.
Namun hingga saat ini, realisasi pembayaran tersebut disebut belum berjalan penuh di lapangan.
Setelah bertahun-tahun menunggu tanpa kepastian, warga Pekanbaru akhirnya secara resmi melaporkan persoalan ini ke KPK, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Mabes Polri.
Mereka menilai Pemerintah Provinsi Riau tidak menunjukkan langkah konkret dalam menyelesaikan kewajiban pembayaran atas lahan yang telah digunakan untuk kepentingan proyek negara.
โIni bukan cuma soal uang, tapi soal keadilan. Kalau rakyat kecil terus dibiarkan, ke mana lagi kami harus berharap?โ ujar perwakilan warga.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi terbuka dari Pemerintah Provinsi Riau maupun Pemerintah Kota Pekanbaru terkait alasan pasti tertundanya pembayaran ganti rugi lahan sebagaimana telah diputuskan pengadilan.
Warga berharap kasus yang telah berlarut sejak 2011 ini segera diselesaikan secara adil, transparan, dan bertanggung jawab.
Tidak ada komentar