Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
HukumPemerintahUncategorized

Berebut Lahan Sawit di Kampar: Ketika SK Menteri Tak Cukup Menyelesaikan Konflik

673
×

Berebut Lahan Sawit di Kampar: Ketika SK Menteri Tak Cukup Menyelesaikan Konflik

Sebarkan artikel ini

"Ketika Hutan Kemasyarakatan Bersinggungan dengan Kepentingan"

Example 468x60

KAMPAR – Ketegangan nyaris pecah di Kabupaten Kampar, Riau, menyusul terbitnya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di wilayah itu. Surat Keputusan (SK) Menteri LHK Nomor SK.11490/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/3/2024 memberikan hak kelola HKm seluas 1.269 hektare kepada Kelompok Tani Hutan (KTH) Bersatu Abadi Jaya.

Gejolak muncul saat KTH mulai melakukan penandaan batas lahan HKm di lapangan. Sejumlah warga yang sebelumnya telah membuka dan mengelola areal tersebut untuk kebun sawit, menolak langkah itu. Mereka menyatakan bahwa mereka lebih dahulu membuka dan merawat lahan tersebut, bahkan terdapat tanaman kelapa sawit produktif yang telah berumur belasan tahun. Aparat kepolisian pun turun tangan guna mencegah terjadinya bentrokan antarwarga.

MataXpost.com
Example 300x600
Tiada Kebenaran Yang Mendua

Masyarakat menganggap penerbitan SK HKm sebagai bentuk pengambilalihan sepihak atas kebun mereka yang telah dikelola selama bertahun-tahun. Mereka mempertanyakan legitimasi keputusan pemerintah yang, menurut mereka, tidak memperhitungkan kondisi faktual di lapangan.

Konflik ini langsung mendapat atensi dari berbagai pihak. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Riau pada Rabu, 21 Mei 2025 menggelar rapat fasilitasi sebagai tindak lanjut surat keberatan dari Kepala Desa Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja.

Dalam suratnya, sang Kades meminta agar SK Menteri LHK tersebut dicabut. Rapat yang dipimpin oleh Plt Kadis LHK Riau, Embiyarman, bertujuan menjembatani konflik yang mulai meluas. Namun hingga kini, hasil konkret dari rapat tersebut belum diumumkan ke publik.

Di sisi lain, banyak pihak menilai bahwa Kementerian LHK seharusnya tidak lepas tangan terhadap dampak dari keputusan yang mereka keluarkan. Sebagai pemberi izin, tanggung jawab KLHK terhadap konflik yang terjadi tidak bisa begitu saja dialihkan ke pemerintah daerah.

Konflik yang terjadi hari ini hanyalah bagian kecil dari sejarah panjang penguasaan lahan di Kampar Kiri Hilir, khususnya pada lahan bekas konsesi PT Rimba Seraya Utama (RSU). Pada tahun 1996, Menteri Kehutanan menerbitkan izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Pola Transmigrasi kepada PT RSU, dengan luas mencapai 12.600 hektare. Perusahaan ini diketahui berafiliasi dengan Panca Eka Group, yang pada masanya merupakan salah satu konglomerat sektor kehutanan di Riau.

Sayangnya, sejak menerima izin, PT RSU tidak pernah mampu merealisasikan pembangunan HTI. Mereka berdalih menghadapi resistensi dari masyarakat sekitar, namun di sisi lain, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian lahan justru berubah menjadi perkebunan sawit.

Nama PT Agro Abadi mulai muncul sebagai pihak yang diduga mengelola sawit di areal yang sama, dan perusahaan ini kerap dikaitkan dengan jaringan bisnis Panca Eka Group. Bahkan sebuah pabrik kelapa sawit berdiri tak jauh dari lokasi tersebut.

Seiring waktu, lahan HTI yang seharusnya dikembangkan malah diokupasi oleh berbagai pihak. Masyarakat dan kelompok tertentu mulai membuka lahan, bahkan diduga terjadi jual beli lahan hutan secara ilegal.

PT RSU dianggap gagal melindungi dan mengelola izin konsesi yang diberikan negara. Gugatan pun sempat terjadi antara PT RSU dan pihak lain seperti PT Air Jernih, namun meski putusan pengadilan telah inkrah, eksekusinya tak kunjung dilaksanakan.

Puncaknya, pada tahun 2018, Menteri LHK Siti Nurbaya mencabut izin PT RSU melalui SK Nomor: SK.457/MENLHK/SETJEN/HPL.0/10/2018 tertanggal 30 Oktober 2018. Pencabutan itu didasari ketidakmampuan perusahaan menjalankan fungsinya meski telah diberi peringatan berulang.

Namun, pencabutan izin tersebut ternyata tidak menyelesaikan persoalan. Alih-alih kembali menjadi kawasan lindung, lahan seluas 12.600 hektare itu justru semakin diperebutkan.

Dalam SK pencabutan, Menteri LHK menugaskan Gubernur Riau untuk melindungi areal bekas konsesi dan mengurus aset-aset tidak bergerak yang ada di sana. Namun, hingga kini belum terlihat langkah nyata perlindungan yang dijalankan secara efektif.

Di lapangan, penguasaan lahan eks PT RSU justru semakin tak terkendali. Lahan kini lebih banyak dikuasai oleh kelompok masyarakat, bahkan beberapa di antaranya berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) dan LSM lokal.

Praktik klaim sepihak hingga aktivitas ekonomi di luar kendali hukum mulai terlihat dominan di wilayah tersebut. Perebutan lahan tanpa kejelasan status hukum memperparah konflik antarwarga dan berpotensi memunculkan gesekan sosial yang lebih besar.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa negara tampak absen dalam mengawal pasca-pencabutan izin HTI. Penugasan kepada gubernur tanpa kejelasan strategi dan minim dukungan sumber daya telah membuat pengelolaan lahan eks konsesi terabaikan. Padahal, penataan kawasan hutan semestinya menjadi bagian dari agenda reformasi agraria yang inklusif.

Pemerintah pusat melalui Satuan Tugas Penerbitan Kawasan Hutan (Satgas PKH) seharusnya mengambil peran lebih aktif. Satgas PKH perlu segera turun ke lapangan, melakukan verifikasi menyeluruh, memetakan aktor-aktor yang menguasai lahan secara ilegal, dan merumuskan skema legalisasi atau pemulihan kawasan.

Salah satu solusi konkret adalah menjadikan seluruh areal bekas konsesi PT RSU sebagai bagian dari program perhutanan sosial yang menyasar kelompok tani yang sah dan terverifikasi. Langkah ini dapat memastikan bahwa lahan tidak dikuasai oleh pihak yang tidak berhak, dan pada saat bersamaan, memberikan ruang kelola legal kepada masyarakat lokal.

Konflik lahan di eks konsesi PT RSU mencerminkan dilema tata kelola kehutanan di Indonesia: saat negara mencabut izin, tapi gagal menghadirkan keadilan pengelolaan baru. Ruang kosong justru diisi oleh kekuatan-kekuatan informal yang tidak selalu berpihak kepada rakyat kecil.

Di lapangan, penguasaan lahan eks PT RSU justru semakin tak terkendali. Lahan kini diduga lebih banyak dikuasai oleh kelompok masyarakat, keluarga dari para kades bahkan beberapa di antaranya berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) dan LSM lokal.

Tim X Post telah mengantongi sejumlah nama ormas maupun LSM yang saat ini ikut menguasai areal tersebut—meskipun mereka tidak memiliki hak legal atasnya. Praktik klaim sepihak, aktivitas ekonomi ilegal, hingga dugaan jual beli lahan dalam kawasan hutan menjadi fenomena yang terus meluas, memperparah gesekan sosial dan berpotensi menjadi konflik horizontal.

Tanpa intervensi yang tepat dan keberpihakan kepada masyarakat lokal yang sah, lahan eks HTI di Kampar akan terus menjadi bara dalam sekam.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu bergerak cepat agar konflik tak berkembang menjadi tragedi agraria baru. Keadilan hanya bisa hadir jika negara kembali menegaskan kehadirannya—bukan sekadar lewat surat keputusan, tapi lewat tindakan nyata.

Sumber:

investigasi Tim X Post.

media online Sabang Merauke.

masyarakat sekitar lokasi.

Example 300250

Eksplorasi konten lain dari 𝐌𝐚𝐭𝐚 𝐗-𝐩𝐨𝐬𝐭

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Example 120x600
banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Example 468x60