Pekanbaru, 28 Mei 2025 β Aroma busuk pengelolaan anggaran kembali tercium dari tubuh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kali ini, sorotan tajam mengarah ke Balai Wilayah Sungai Sumatera III (BWSS III), unit strategis yang justru disinyalir menjadi pusat rekayasa proyek dan manipulasi anggaran.
Hasil penelusuran investigatif menemukan indikasi kuat adanya proyek fiktif, pengulangan pekerjaan berkedok nomenklatur berbeda, hingga kesalahan desain teknis fatal yang membuat infrastruktur irigasi gagal fungsi sejak hari pertama dibangun.
Ironisnya, seluruh praktik ini justru terjadi di bawah komando para pejabat struktural BWSS III, yaitu:
- Ir. Sahril, SP, PSDA (Kepala Balai),
- Ucok Efendi (Kasatker PJSA),
- Beni (Kasi Perencana),
- Andi (PPK PJPA),
- Nurwasidah, ST (PPK OP II).
4 Fakta Proyek yang Memicu Kecurigaan Publik:
1.Proyek Pemeliharaan Irigasi β Kabupaten Siak, 2024
Secara dokumen, proyek ini rampung 100 persen. Namun di lapangan, hanya dua petugas tanpa dukungan teknis, tanpa laporan kerja, tanpa dokumentasi. Diduga proyek ini hanya βdibayangkanβ di atas kertas demi mencairkan anggaran.
3..Duplikasi Kegiatan 2025 β Kecamatan Bunga Raya, Siak
Empat kegiatan berbeda nama namun identik isi dan lokasi, semuanya dicatat dalam DIPA 2025. Tak ada kajian teknis, tak ada evaluasi kerusakan, tak ada urgensi logis. Total anggaran yang terhisap mencapai miliaran rupiah.
4,Desain Irigasi Gagal β Kuantan Singingi
Saluran air dibangun dari dataran rendah ke tinggi. Air mustahil mengalir. Tak ada survei topografi. Tak ada audit mutu. Hasilnya: proyek mangkrak sejak selesai. Penyusunan desain terindikasi asal-asalan untuk mengejar pencairan dana.
4.Proyek Air Baku β Pulau Rupat, Bengkalis
Dana cair 100%. Namun, di lokasi nihil aktivitas: tak ada papan proyek, tak ada alat berat, tak ada bahan bangunan. Diduga kuat sebagai proyek fiktif.
Komentar Tajam ICW, Kementerian PUPR Penuh Luka Lama
Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), menyatakan bahwa dugaan-dugaan tersebut merupakan cerminan persoalan klasik yang tak kunjung diselesaikan di Kementerian PUPR.
“Korupsi di sektor infrastruktur itu seperti penyakit menahun. Proyek fiktif, mark-up, duplikasi kegiatanβini semua modus lama yang terus hidup karena lemahnya pengawasan dan minimnya transparansi,” ujar Wana,
Ia menegaskan bahwa penyimpangan seperti ini bukan sekadar kerugian negara, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap hak masyarakat atas infrastruktur yang layak.
“Masyarakat dirugikan dua kali: uangnya dicuri, manfaat infrastrukturnya pun tak mereka rasakan.”
Berpotensi Melanggar Sejumlah UU, Jika terbukti, praktik ini melanggar:
. Pasal 23 UUD 1945 β Keuangan negara harus dikelola untuk kemakmuran rakyat.
. UU No. 17 Tahun 2003 & UU No. 1 Tahun 2004 β Tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban APBN.
. UU Tipikor No. 31/1999 jo. No. 20/2001 β Penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara dapat dijerat pidana.
Dampak Sistemik: Dari Hukum, Ekonomi, hingga Kemanusiaan:
1.Sisi Hukum: Penyimpangan yang Bisa Jerat Pejabat
Jika praktik ini terbukti, maka pelaku bisa dijerat dengan:
UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001 β Penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara, UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004 β Tentang pengelolaan keuangan negara, Pasal 23 UUD 1945 β Keuangan negara wajib digunakan untuk kemakmuran rakyat. Bukan hanya pelaksana teknis, tetapi juga pejabat yang memberi persetujuan dapat terancam pidana.
- Sisi Ekonomi: APBN Terkuras, Pembangunan Terhambat
Dana miliaran rupiah untuk pembangunan air dan irigasi menguap sia-sia, Infrastruktur gagal membuat produktivitas pertanian menurun, distribusi air macet, dan kawasan stagnan, Rakyat membayar utang negara, tetapi manfaat pembangunan tidak mereka rasakan.
3.Sisi Kemanusiaan: Warga Jadi Korban Nyata
Salah satu petani di Kuansing yang tak mau disebutkan namanya, menyebutkan,petani tak bisa menanam karena air tidak mengalir, Warga Pulau Rupat kekurangan air bersih karena proyek air baku tak kunjung terlihat, Akses dasar terhadap air, pangan, dan sanitasi menjadi korban dari korupsi yang sistemik.
Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, ini bentuk pengingkaran terhadap hak hidup warga negara, ujar Mustakim seorang aktivis anti korupsi.
Gelombang reaksi datang dari publik, termasuk para aktivis, akademisi, dan petani terdampak. Mereka menilai diamnya Kementerian PUPR dan BWSS III sebagai bentuk pembiaran sistemik.
“Kami mendesak Presiden Jokowi dan Menteri PUPR segera mencopot pejabat BWSS III yang terlibat dan membuka ruang audit investigatif menyeluruh,” kata Ricky Fathir, Koordinator Koalisi Masyarakat Antikorupsi Riau.
Di media sosial, tagar #AuditBWSSIII dan #ProyekIrigasiFiktif mulai bergema, menandakan kemarahan yang meluas dan tekanan terhadap institusi penegak hukum agar tidak tinggal diam.
βJangan tunggu KPK datang baru panik. Ini sudah menyentuh urusan hidup masyarakat desa. Kalau air tak mengalir, sawah gagal, rakyat yang jadi korban,β tambahnya
Upaya konfirmasi dilakukan ke lima pejabat BWSS III, termasuk Kepala Balai Ir. Sahril, ST dan para PPK. Namun hingga berita ini dinaikkan, tidak ada satu pun tanggapan resmi yang diberikan. Sunyi itu justru menguatkan kecurigaan publik.
Catatan Redaksi:
Tim X-Post akan segera meungkap dugaan keterlibatan pihak legislatif dalam kasus ini.
Media ini memberi ruang seluas-luasnya untuk hak jawab seluruh pihak yang disebut dalam berita. Tanggapan akan dimuat secara adil dan proporsional sesuai UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik.
Bersambung…