TELUKKUANTAN โSebuah skandal anggaran besar tengah mengguncang Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Pengadaan rapid test antigen senilai Rp15,2 miliar pada tahun 2020 mendadak menjadi sorotan bukan karena kontribusinya terhadap penanganan pandemi, melainkan karena dilaksanakan tanpa dasar hukum. (17/06)
Ironisnya, kontrak ilegal itu justru dimenangkan di pengadilan. Lewat putusan Mahkamah Agung, Pemkab Kuansing kini diwajibkan membayar lebih dari Rp23 miliar kepada pihak vendor melalui APBD 2025. Negara akhirnya dipaksa membayar proyek yang secara administratif dan hukum harus batal demi hukum.
Dokumen Kontrak Nomor 443/DISKES-SET/549 tanggal 08 Desember 2020. Adapun jangka waktu pekerjaan selama 12 hari untuk 34.725 unit antigen swab. Dana kegiatan itu bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Kuansing Tahun Anggaran 2020 dengan nilai kontrak sebesar Rp15.287.800.000.
Bagaimana mungkin pengadaan tanpa Rencana Umum Pengadaan (RUP) maupun di DPA dan tanpa alokasi di APBD bisa lolos dari pengawasan internal, bahkan menang di pengadilan? Siapa yang menyetujui pengadaan? Ke mana aliran dananya pada tahun 2020? Kenapa gugatan bisa diterima oleh Pengadilan.? Dan yang paling mengkhawatirkan: mengapa hingga kini belum ada satu pun tersangka?
Dokumen serta informasi dari berbagai sumber yang diperoleh redaksi menyebutkan bahwa pengadaan oleh PT Bismacindo Perkasa tidak tercantum dalam RUP maupun APBD 2020. Artinya, secara hukum perbendaharaan dan pengadaan, kontrak tersebut batal demi hukum. Namun karena barang telah dikirim dan tidak dibayar, pihak vendor menggugat Pemkab Kuansing โ dan menang hingga tingkat Mahkamah Agung.
Putusan pengadilan menyatakan bahwa Pemkab Kuansing melakukan wanprestasi, dan kini harus membayar nilai kontrak beserta bunga dan denda โ total lebih dari Rp23 miliar. Seluruh beban ini akan dicantumkan dalam APBD P 2025 lewat skema “tunda bayar” disebutkan oleh salah satu pejabat Pemkab kuansing.
Lebih lanjut dikutip dari berbagai sumber media lokal juga menyebutkan Kejaksaan negeri kuansing telah menangani perkara dugaan korupsi pengadaan rapid test saat covid-19, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Kuansing, Rozie Juliantono, telah mengonfirmasi bahwa perkara ini naik ke tahap penyidikan sejak Maret 2024.
โTim sepakat untuk meningkatkan status penanganan perkara tersebut ke tahap penyidikan guna mencari dan mengumpulkan bukti yang cukup serta mengungkap pelaku yang bertanggung jawab,โ ujar Rozie, Selasa (5/3/2024).
Namun hingga pertengahan 2025, belum satu pun pejabat dari Dinas Kesehatan, pejabat pembuat komitmen, vendor, maupun pimpinan daerah yang ditetapkan sebagai tersangka.
Landasan Hukum yang Diduga Dilanggar
1. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
Menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri atau korporasi dan merugikan keuangan negara.
2. Pasal 17 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Setiap pengeluaran dari APBD hanya sah jika tercantum dalam DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran).
3. Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945
Keuangan negara hanya dapat digunakan berdasarkan persetujuan undang-undang (APBD).
4. Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pengadaan harus berdasarkan RUP dan pagu anggaran. Jika tidak, kontrak batal demi hukum.
Sejumlah aktivis dan pengamat hukum menyebut skema pembayaran ini sebagai bentuk pencucian anggaran dan โpemutihan kontrak ilegalโ melalui jalur perdata.
Aktivis muda Riau, Ade Monchai angkat bicara, ia menyatakan bahwa putusan perdata tak serta merta menghapus unsur pidana.
“Negara tidak boleh membayar kontrak yang tidak sah. Ini bukan sekadar salah prosedur, tapi kuat dugaan modus pemutihan kontrak ilegal lewat jalur perdata. Kalau ini dibiarkan, siapa pun bisa lakukan pengadaan fiktif, lalu gugat, dan dibayar negara secara sah,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mendesak Kejari Kuansing untuk segera menetapkan tersangka:
“Siapa yang mencairkan dana tanpa dasar hukum? Apakah Plt Kadiskes? Atau ada perintah langsung dari pimpinan, yakni Bupati Kuansing? Kejaksaan harus segera periksa Vendor PT Bismacindo Perkasa dan Pemkab Kuansing, termasuk oknum hakim yang memutus perkara perdata itu,” pungkas Ade.
Ade Monchai menambahkan bahwa:
โJika tidak diungkap secara terang benderang, maka putusan Mahkamah Agung yang mewajibkan Pemkab Kuansing membayar kontrak ilegal itu patut dicurigai sebagai bagian dari kompromi sistemik yang memungkinkan APBD dijarah lewat celah hukum, ini juga membuka jalan bagi praktik โperampokan anggaran negara yang dilegalkan,’tutupnya.
Publik dan pengamat kini menuntut Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan langsung. Mereka mencurigai adanya skema terstruktur antara oknum pejabat Pemkab, penyedia barang, dan aparat hukum dalam merekayasa legalitas kontrak fiktif.
BPK RI juga didesak untuk melakukan audit investigatif terhadap seluruh aliran dana Dinas Kesehatan dan Pemkab Kuansing dari 2020 hingga 2025, guna menelusuri potensi korupsi sistemik.
Siapa yang menginisiasi pengadaan tanpa dasar hukum?
Siapa yang menyuplai barang tanpa anggaran resmi?
Dan siapa yang mengambil keuntungan dari uang rakyat?
“Jika kontrak ilegal bisa dimenangkan di pengadilan dan dibayar dengan APBD, maka integritas sistem keuangan negara kita berada di ujung tanduk”.
Kasus ini dinilai mencerminkan kekacauan sistemik dalam manajemen keuangan daerah, sekaligus membuka tabir potensi adanya kolusi antara pejabat publik, penyedia barang, dan aparat hukum dalam memanfaatkan celah hukum untuk “melegalkan” kontrak fiktif demi keuntungan pribadi atau kelompok