BUKIT BATU – Program kemitraan plasma perkebunan di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, kembali menjadi sorotan publik. Dua isu mencuat bersamaan: dugaan nepotisme dalam kepengurusan Koperasi Bukit Batu Darul Makmur (BBDM), serta keterlibatan seorang pejabat aktif Camat Bukit Batu dan ayahnya dalam daftar penerima manfaat lahan plasma (CPCL). Keduanya dinilai mencederai prinsip keadilan dan transparansi yang seharusnya menjadi roh program kemitraan rakyat ini. (15/07)
Dalam struktur kepengurusan baru Koperasi BBDM, diketahui Ismail menjabat sebagai Ketua, sementara anak kandungnya, Zulkifli, duduk sebagai Wakil Sekretaris. Keberadaan relasi keluarga dalam posisi kunci ini menimbulkan pertanyaan serius dari anggota koperasi dan warga setempat.
“Ini bukan hanya soal kapabilitas, tapi soal etika organisasi. Kalau dua posisi penting diisi oleh ayah dan anak, siapa yang akan mengontrol siapa? Di mana jaminan bahwa kebijakan yang diambil tidak akan berat sebelah?” ujar seorang anggota koperasi yang enggan disebutkan namanya.
Dugaan nepotisme ini memperkuat kekhawatiran warga akan potensi penyalahgunaan wewenang, dominasi informasi, dan pengambilan keputusan yang tidak demokratis dalam tubuh koperasi. Sejumlah tokoh masyarakat mendesak agar dilakukan evaluasi terbuka terhadap struktur koperasi dan tata kelolanya.
“Koperasi itu milik bersama, bukan milik keluarga. Kalau dikelola tertutup, maka semangat gotong royong dan kesejahteraan anggota hanya akan jadi jargon kosong,” tegas Irwan, tokoh masyarakat Bukit Batu.
Kritik terhadap integritas tata kelola lahan plasma tidak berhenti di situ. Masyarakat juga digegerkan dengan munculnya nama Camat Bukit Batu yang masih aktif menjabat, serta ayahnya, dalam daftar CPCL penerima lahan plasma dari salah satu perusahaan sawit mitra koperasi.
Hal ini dinilai sebagai bentuk benturan kepentingan yang terang-terangan. Camat sebagai pejabat struktural pemerintahan seharusnya berada di posisi netral dan menjaga jarak dari program yang menyangkut alokasi sumber daya untuk masyarakat.
“Kalau camat dan keluarganya ikut terdaftar sebagai penerima plasma, lalu bagaimana dengan petani kecil yang benar-benar membutuhkan? Ini bukan cuma masalah hukum, ini soal etika publik,” kata seorang warga Tanjung Belit.
Program plasma sejatinya dirancang untuk mendistribusikan manfaat lahan kepada petani aktif, tidak mampu, dan berdomisili tetap. Keikutsertaan pejabat dalam daftar penerima jelas melanggar semangat dari ketentuan tersebut, sekalipun secara administratif bisa saja dibungkus dengan dokumen formal.
Hingga berita ini diturunkan, tidak ada tanggapan resmi dari pihak kecamatan maupun Koperasi BBDM atas dua dugaan ini. Pihak perusahaan juga belum memberikan klarifikasi terkait mekanisme verifikasi CPCL yang meloloskan nama-nama yang memiliki konflik kepentingan.
Pemerhati kebijakan publik dari Forum Transparansi Riau, Dr. Dedi Andrawan, menyebut fenomena ini sebagai contoh klasik bagaimana program berbasis rakyat justru disusupi elite lokal. “Ketika program untuk petani miskin dikooptasi oleh pejabat, maka yang terjadi bukan redistribusi, tapi repolitisasi. Ini berbahaya bagi legitimasi dan kepercayaan publik,” tegasnya.
Masyarakat kini mendesak pemerintah Kabupaten Bengkalis, Dinas Perkebunan, dan Inspektorat Daerah untuk segera turun tangan, mengevaluasi ulang daftar CPCL, dan membatalkan penerima yang memiliki konflik kepentingan atau keterkaitan kekeluargaan dalam pengelolaan program.
> “Jangan sampai koperasi dan program plasma dijadikan alat baru untuk memperkaya keluarga dan kroni. Kami butuh keadilan, bukan komplotan,” ujar salah satu petani dalam forum diskusi warga.
Eksplorasi konten lain dari 𝐌𝐚𝐭𝐚 𝐗-𝐩𝐨𝐬𝐭
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.