PEKANBARU — Skandal Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 di Provinsi Riau memasuki babak baru yang lebih mengkhawatirkan. Setelah terungkapnya siswa “siluman” seperti Hani Amalia Putri dari Rangsang dan Raisya Aulia dari Kampar Kiri yang mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMAN 1 Pekanbaru tanpa tercatat dalam sistem resmi, kini terbongkar pula praktik penambahan sepihak jumlah siswa di hampir seluruh SMA dan SMK favorit negeri di Pekanbaru.
Indikasi kuat mengarah pada praktik “titipan” siswa melalui jalur belakang, yang dijalankan oleh oknum pejabat di Dinas Pendidikan Provinsi Riau dengan melibatkan kepala sekolah dan panitia internal. Sumber lapangan menyebut, penambahan siswa ini bukan kebetulan, tapi merupakan bagian dari skema sistematis, terstruktur, dan masif yang telah berlangsung lama, namun kali ini dilakukan secara lebih vulgar dan terang-terangan.
Data yang berhasil dihimpun menunjukkan lonjakan signifikan di sejumlah SMA:
SMAN 1 Pekanbaru: kuota resmi 285, realisasi 437
SMAN 2: 257 → 389
SMAN 3: 345 → 426
SMAN 4: 345 → 376
SMAN 5: 344 → 489
SMAN 6: 297 → 325
SMAN 7: 237 → 261
SMAN 8: 345 → 429
SMAN 10: 344 → 489
SMAN 11: 334 → 426
Sementara sekolah lain seperti SMAN 12, 13, 16 hingga SMAN 30 masih dalam batas kuota, namun beberapa diduga juga menerima “titipan” yang belum terdeteksi dalam data agregat.
Bukan hanya SMA, skandal ini juga menyeret sekolah-sekolah kejuruan. Berikut data dari SMK Negeri di Pekanbaru, mencocokkan kuota resmi dengan data Dapodik dari Kementerian:
SMKN 1 (Kepsek: Dra. Gemi Wiliarti MM): Kuota 417, realisasi 428 (selisih 11)
SMKN 2 (Kepsek: Peri Daswandi, S.Pd): Kuota 824, realisasi 901 (selisih 77)
SMKN 3 (Kepsek: Mairustuti): Kuota 488, realisasi 473
SMKN 4 (Kepsek: Djunaidi, M.Pd): Kuota 534, realisasi 627 (selisih 93)
SMKN 5 (Kepsek: Drs. Dwi Bowo Sukmono, MM): Kuota 554, realisasi 591 (selisih 37)
SMKN 6 (Kepsek: Elva Susanti): Kuota 535, realisasi 543 (selisih 8)
SMKN 7 (Kepsek: Fatmi Riana, S.Pi., M.Pd): Kuota 571, realisasi 604 (selisih 33)
SMKN 8 (Kepsek: Sasongko, S.Pi): Kuota 288, realisasi 215
Data di atas menunjukkan penerimaan di luar sistem PPDB resmi yang semestinya dikunci. Bahkan Kepala Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Riau, Dr. Nilam Sari, telah menegaskan sebelumnya bahwa Dapodik sebagai basis data kuota sudah dikunci sebulan sebelum PPDB dibuka.
> “Kepada masyarakat di seluruh Provinsi Riau, Dapodik sudah kami kunci satu bulan yang lalu berdasarkan daya tampung yang sudah ditetapkan. Jadi jangan lagi ada SPMB jilid berjilid,” ucap Nilam Sari dalam video resmi, Rabu, 2 Juli 2025.
Namun kenyataan di lapangan sangat berbeda. Siswa yang tidak terdaftar di sistem malah lolos masuk ke sekolah-sekolah favorit, sementara ribuan siswa lain yang mengikuti prosedur resmi justru gagal diterima. Seorang kepala sekolah yang meminta namanya dirahasiakan mengaku mendapat daftar nama langsung dari Kepala Dinas dan Kabid SMA.
> “Kami hanya terima nama. Kami disuruh sediakan bangku. Ada yang lewat jalur prestasi fiktif, ada juga yang langsung didaftarkan lewat belakang. Silakan tanya panitia SPMB, kami hanya pelaksana,” ujarnya.
Orang tua siswa menyebutkan uang pelicin untuk “jalur titipan” berkisar antara Rp25 juta hingga Rp50 juta. Modusnya melibatkan makelar internal yang dekat dengan pejabat Dinas Pendidikan.
Ketua Umum SATU GARIS, Ade Monchai, menyebut bahwa skema ini sudah masuk kategori mafia jabatan dan korupsi pendidikan yang merusak masa depan anak-anak Riau.
> “Kalau Dapodik dikunci tapi siswa siluman tetap masuk, itu artinya ada penyalahgunaan kewenangan. Ini bukan soal dua-tiga anak. Ini kerusakan sistemik. Kepala sekolah hanya wayang, dalangnya Kadisdik dan Kabid SMA,” tegas Ade.
SATU GARIS mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Tinggi Riau, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menyelidiki aliran dana dari orang tua ke pejabat pendidikan dan pihak ketiga.
> “Audit rekening Kadisdik, Kabid SMA, dan periksa penghubungnya. Jangan biarkan pendidikan dikendalikan makelar kekuasaan,” ujarnya lagi.
Sayangnya, pejabat Dinas Pendidikan Provinsi Riau justru memilih menghindar. Kadisdik Riau, Erisman Yahya, enggan memberikan keterangan. Sekretaris Disdik Arden Simeru tak bisa dihubungi. Kabid SMA Nasrul hanya memberi pesan pendek: “Maaf, kondisi drop, dua hari ini dirawat. Nanti kita bicara kalau sudah sehat.”
Publik tak bisa menunggu pejabat yang “drop” di tengah krisis keadilan pendidikan. Sorotan kini mengarah ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk turun tangan langsung. SATU GARIS meminta Menteri Abdul Mukti segera membentuk tim investigasi, membuka kanal pengaduan publik, dan menjatuhkan sanksi keras kepada pejabat yang bermain dengan masa depan anak bangsa.
Menurut SATU GARIS, reformasi pendidikan tidak akan pernah berhasil selama institusi pendidikan dikuasai oleh birokrasi korup. Riau kini sedang berada dalam darurat integritas. Jika tidak segera ditangani, masa depan pendidikan akan ditentukan oleh uang dan koneksi, bukan oleh kompetensi dan kejujuran.
Berita ini akan diperbarui sesuai temuan lanjutan dan perkembangan penyelidikan.
sumber :
Investigasi Tim X-Post
Media siber yang kredibel
Eksplorasi konten lain dari 𝐌𝐚𝐭𝐚 𝐗-𝐩𝐨𝐬𝐭
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.